Menurut Aśokāvadāna, YA Samudra adalah putra seorang pedagang Sravasti. Ketika ayahnya menjadi korban perampok-perampok, ia masuk Bhikkhu Sangha dan menjadi bhikkhu pengembara. Suatu hari di secara sembrono masuk penjara yang telah Asoka bangun di Pataliputra. Begitu ditangkap Candagirika, algojo kepala, dia diberi tahu dia akan segera dibunuh. Pertama, dia menyaksikan siksaan-siksaan sedang dikenakan pada orang-orang tahanan lain dan, setelah merenungkan mereka, dia menyadari kebenaran penderitaan menurut Sang Buddha, dan menjadi Arahat.
Hari berikutnya, ketika waktu girirannya tiba untuk direbus hidup-hidup di sebuah ketel besar, dia mulai meditasi yang khusuk (jhāna) dan tidak terpengaruh oleh upaya-upaya sia-sia oleh para calon eksekutornya. Dia sekedar duduk dengan bersilang kaki di sebuah bunga teratai yang telah muncul secara ajaib dari dasar ketel itu.
Kemudian, Kaisar Asoka dipanggil untuk datang dan menyaksikan keajaiban itu. Karena menyadari bahwa waktunya telah matang untuk Asoka menjadi Buddhis, YA Samudra melakukan tindak magis berupa menyanggakan dirinya di tengah udara sedangkan setengah tubuhnya terbakar dan setengah lagi kehujanan. Asoka terkesan oleh hal itu dan bertanya tentang identitas YA Samudra. Bhikkhu itu bercerita bahwa dia adalah salah seorang murid Sang Buddha dan pengikut Dhamma dan memperingatkan dia karena telah membangun kamar siksaan itu. Sebagai gantinya, Asoka seharusnya menjamin keamanan semua makhluk dan memenuhi ramalan Sang Buddha dengan membangun 84.000 stupa.
Kemudian, Asoka mengakui perbuatan-perbuatan jahatnya dan berlindung pada Sang Tiratana.5
5Sujitkumar Mukhopadhyaya, ed. , The Aśokāvadāna ( New Delhi : Sahitya Akademi, 1963 ) , pp. 46-52 ; compare Jean Przyluski, La légende de l’empereur Açoka (Paris: Paul Geuthner, 1923 ) , pp. 120-56, 237-41 (dari The Legend of King Asoka, John. S. Strong)