Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 4. YA Ānanda Thera

(Sumber Gambar: https://www.pexels.com/photo/monk-meditating-372281/)

4. YA Ānanda Thera

Kelahiran

YA Ānanda terlahir sebagai putera Amitodana Kapilavatthu, hari lahirnya bersamaan dengan Pangeran Siddhatta. YA Ānanda menjadi bhikkhu di hutan mangga Anupiya dalam perjalanan bersama dengan Mahānāma, Bhaddhiya, Bhagu, Kimbila, Devadatta dan Upāli.

Setelah mendengarkan khotbah Dhamma dari YA Puṇṇa Mantānipputta, YA Ānanda mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.

Pembantu Tetap Sang Buddha

Bodhi (2003:140) and Dhammika (60-61) menulis bahwa pada usia 55 tahun beliau diangkat oleh Sang Buddha sebagai pembantu tetap-Nya setelah Sang Buddha menyetujui 8 macam kemurahan hati, yang terdiri atas 4 buah larangan (1) Sang Buddha tidak boleh memberinya satu pun makanan yang Sang Buddha terima dan juga (2) jubah-jubah yang diberikan kepada Sang Buddha, (3) bahwa YA Ānanda tidak boleh diberi akomodasi yang khusus, dan (4) YA Ānanda tidak harus menyertai Sang Buddha ketika Sang Buddha menerima undangan ke rumah penduduk; dan 4 permohonan: (1) jika beliau diundang makan, beliau dapat mengalihkannya kepada Sang Buddha, (2) jika orang-orang datang dari daerah luar untuk bertemu Sang Buddha, beliau harus mendapat hak istimewa untuk memperkenalkan mereka kepada Sang Buddha, (3) jika beliau mengalami keraguan apa pun tentang Dhamma, beliau dapat berbicara tentang hal itu kepada Sang Buddha pada setiap saat, dan (4) jika Sang Buddha membabarkan ceramah ketika beliau tidak hadir, Sang Buddha harus mengulanginya di hadapan beliau.

Membantu Pembentukan Saṅgha Bhikkhuni

Halaman 521-524 Vinaya Piṭaka mencatat bahwa YA Ānanda mendukung permohonan Mahapājapatῑ Gotami dan sejumlah wanita suku Sakya 500 orang wanita yang lain serta mohon persetujuan Sang Buddha agar wanita diterima masuk ke dalam Saṅgha sehingga Saṅgha Bhikkhuni terbentuk.

Menjadi Arahat

Sekitar hingga empat bulan setelah Sang Buddha Parinibbāna, YA Ānanda baru mencapai Sotāpanna. Baru sewaktu akan diadakan Saṅgha Samaya (Sidang atau Konsili Saṅgha) yang pertama di Goa Sattapanni, Rājagaha, YA Ānanda menjadi Arahat. (MV:ii)

Halaman 548 Vinaya Piṭaka  mencatat saat yang mengesankan ketika beliau menjadi Arahat: “Dan YA Ānanda, sambil berpikir, ‘besok adalah hari sidang, sekarang tidak sesuai bagi saya untuk memasuki sidang selama saya masih hanya di jalan/berlatih (untuk menjadi Arahat) menghabiskan seluruh malam hari beliau dengan pikiran yang terjaga. Pada saat malam akan berakhir, ketika berniat berbaring, beliau memiringkan tubuh. Tetapi, sebelum kepala beliau mencapai bantal sedangkan kedua kaki beliau masih jauh dari atas lantai, di antara jeda waktu itu beliau menjadi bebas dari kemelekatan pada dunia dan pikiran beliau terbebaskan dari Āsava-Āsava (yaitu nafsu indrawi, keinginan hidup abadi, pandangan salah, dan  kebodohan batin).”

Pengulang Sutta Piṭaka

Lalu, beliau ditugaskan mengulang Sutta Piṭaka dalam sidang tersebut.

Penjaga atau Bendahara Dhamma

YA Ānanda melewatkan tahun-tahun terakhirnya dengan mengajar, berkhotbah dan memberikan semangat kepada para bhikkhu yang lebih muda karena mendengarkan paling banyak ceramah langsung dari Sang Buddha.

Parinibbāna dan Relik

Bodhi (2003:182) menulis bahwa ketika YA Ānanda berusia 120 tahun, beliau merasa bahwa akhir masa hidup beliau sudah dekat. Beliau pergi dari Rājagaha dalam perjalanan menuju Vesāli, persis seperti yang telah dilakukan oleh Guru beliau. Ketika Raja Magadha dan pangeran-pangeran Vesāli mendengar bahwa YA Ānanda segera akan mencapai Parinibbāna, mereka bergegas mengejar beliau dari kedua arah untuk mengucapkan salam perpisahan. Untuk berlaku adil kepada kedua pihak, YA Ānanda memilih cara untuk wafat sesuai dengan sifat halus beliau: beliau meluncur ke udara dengan memakai kekuatan batin beliau dan menjadikan tubuh beliau termakan oleh unsur api. Relik-Relik beliau dibagi menjadi dua dan stupa-stupa didirikan.

Bhikkhu yang terkemuka dalam lima kategori

Pada suatu ketika di Vihāra Jetavana, Sang Buddha memuji YA Ānanda sebagai Penjaga/Bendahara  Dhamma dan dalam banyak hal yang lain serta dinyatakan sebagai bhikkhu yang terbaik dalam:

  1. Banyak belajar atau pandai (bāhusacca)
  2. Perhatian dan memiliki ingatan yang kuat (sati)
  3. Memahami Dhamma (gati)
  4. Ketekunan dalam melestarikan Dhamma (dhiti)
  5. Memberikan pelayanan (upatthana).

4. The Venerable Ānanda Thera

Birth

Born on the same date as that of Prince Siddhatta to the family of Amitodana in Kapilavatthu, he became a monk at age 37 in the Anupiya Mango Grove during the course of a journey together with the future Venerable Mahānāma, Bhaddhiya, Bhagu, Kimbila, Devadatta and Upāli.

After listening to a Dhamma talk by the Venerable Puṇṇa Mantānipputta, he became a Sotāpanna, or Stream-enterer, the first degree saint.

The Buddha’s Regular Attendant

Bodhi (2003:140)  and Dhammika (60-61) writes that at the age of fifty-five he was appointed by the Buddha as his regular attendant after the latter agreed to the 8 favours, comprised of four restrictions: (1) the Buddha should never give him any of the food that He received nor (2) any of the robes given to the Buddha, (3) he should not be given any special accommodation, and (4) he would not have to accompany the Buddha when the latter accepted invitations to people’s homes; and four requests (1) if he was invited to a meal, he could transfer the invitation to the Buddha, (2) if people came from outlying areas to see the Buddha, he would have the privilege of introducing them to the Buddha, (3) if he had any doubts about the Dhamma, he should be able to talk to the Buddha about them at any time; and (4) if the Buddha gave any discourse in his absence, He would later repeat it in his presence.

Help in the Establishment of the Order of Nuns

Pages 521-524 of Vinaya Texts the Venerable Ānanda supported the request of Mahapājapatῑ Gotami and a number of women of the Sakyan clan and sought the leave of the Buddha that women be admitted into the Sangha, or the Noble Order, such that the Buddhist Nuns’ Order was established.

Arahantship

Up until about four months after the Buddha’s death, he remained a Sotāpanna. He became an Arahant only by the time the First Buddhist Council would begin in the Sattapanni cave, Rājagaha. (MV:ii)

The page 548 of Vinaya Texts records the memorable moment he became an Arahant: ”And the Venerable Ānanda —thinking, ’To-morrow is the assembly, now it beseems me not to go into the assembly while I am still only on the way (towards Arahatship)’ spent the whole night with mind alert. At the close of the night, intending to lie down, he inclined his body, but before his head reached the pillow and while his feet were still far from the ground, in the interval he became free from attachment to the world and his heart wasemancipated from the Āsavas (that is to say, from sensuality, individuality, delusion and ignorance).”

Reciter of the Sutta Piṭaka

He was then assigned to recite the Sutta Piṭaka in the assembly.

Guardian or Treasurer of the Dhamma

He spent his subsequent period teaching, preaching to and encouraging junior monks as it was he who listened to most of the discourses personally expounded by the Buddha.

Final Nibbāna and Relics

Bodhi (2003:182) writes that when Ᾱnanda was one hundred and twenty years old, he felt that his end was near. He went from Rājagaha on a journey to Vesālῑ, just as his Master had done. When the king of Magadha and the princes of Vesāli heard that Ᾱnanda would soon attain final Nibbāna, they hurried to him from both directions to bid him farewell. In order to do justice to both sides, Ᾱnanda chose a way to die in keeping with his gentle nature: he raised himself into the air through his supernormal powers and let his body be consumed by the fire element. The relics were divided and stūpas erected.

Excellence in Five Categories

On one occasion at the Jetavanna Monastery, the Buddha praised the Venerable Ᾱnanda as the Guardian/Treasurser of the Dhamma and in many other matters and as the monk who excelled in five categories:

  1. Much learning;
  2. Attention and mindfulness;
  3. Understanding of the Dhamma;
  4. Diligence in preserving the Dhamma; and
  5. Provision of services.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Apakah ada yang bisa kami bantu?