Dhammapada 19

Stanza 19:   ‘bahumpi ce sahitaṁ bhāsamāno – na takkaro hoti naro pamatto                          

                          gopo’va gāvo ganayaṁ paresaṁ- na bhāgavā samaññassa hoti’’

Meaning in English: ‘The thoughtless person, even if he can recite a large portion of the sacred texts, but acts not accordingly, has no share in the priesthood or holy life, but is like a cowherd who tends the other’s cows.’

Arti bahasa Indonesia-nya: Walaupun mengucapkan banyak bagian dari Tipitaka, tetapi tidak bertindak secara sesuai, orang yang lengah itu tidak mendapatkan hasil-hasil dari kehidupan kebhikkuan atau suci,* melainkan seperti penggembala yang menghitung sapi-sapi milik orang lain.

*Magga dan Phala

Latar belakang: Pada suatu ketika ada dua orang bhikkhu dari keluarga yang mulia dan mereka adalah teman baik. Satu orang di antaranya mempelajari Tipitaka dan demikian pintar dalam menguncarkan dan berceramah. Dia melakukan pelayanan pengajaran dan pelatihan kepada banyak bhikkhu. Bhikkhu yang kedua mengerti realitas (anicca, dukkha dan anatta) setelah melakukan tugas meditasinya dengan tekun, mencapai tingkat Arahat berikut pengetahuan luar biasa selama Meditasi Vipassana. Pada suatu kali, kedua orang bhikku itu bertemu di Vihara Jetavana (Hutan Jeta). Karena tidak mengerti bahwa temannya yang bhikkhu itu telah benar-benar mencapai tingkat Arahat, bhikkhu yang banyak belajar itu memandang rendah pada bhikkhu yang kedua sehingga berpikir bahwa temannya tahu sangat sedikit tentang Tipitaka dan Dhamma. Sang Buddha memahami niat buruk itu dan mengunjungi kedua orang bhikkhu itu. Sang Buddha mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang jhāna-jhāna dan pencapaian-pencapaian tinggi dalam hal meditasi (magga-magga). Ahli Tipitaka itu tidak mampu menjawabnya dengan sesuai karena ia tidak mempraktikkan apa yang ia ajarkan. Bhikkhu kedua yang telah mencapai tingkat Arahat itu dapat menjawabnya dengan jelas. Lalu, Sang Buddha memuji bhikkhu kedua tersebut yang telah mempraktikkan dan mencapai Dhamma, tetapi tidak satu pun kata pujian diberikan kepada bhikkhu yang banyak belajar itu. Para bhikkhu yang tinggal di vihara itu ingin tahu tentang mengapa Sang Buddha tidak memuji guru mereka yang banyak belajar itu.

Sang Buddha menjelaskan:

“Bhikkhu yang banyak belajar itu tahu banyak sekali tentang Tipitaka tetapi tidak mempraktikkan Dhamma. Jadi, ia seperti penggembala yang menjaga sejumlah sapi untuk mendapat gaji. Bhikkhu yang kedua mempraktikkan Dhamma adalah seperti pemiliknya yang menikmati lima jenis produk dari sapi-sapi itu. Jadi, ia dengan tepat memetik manfaat dari kesucian karena ia telah memberantas ketamakan, kebencian dan kebodohan batin.”

 ‘bahumpi ce sahitaṁ bhāsamāno’ – di kalimat ini, sahitaṁ adalah teks-teks Dhamma atau Tipitaka tempat kita menemukan dialog-dialog Sang Buddha.

Sutta piṭaka: Dialog-dialog Sang Buddha:                                                          

  1. Dīgha nikāya: terdiri atas 34 buah dialog panjang Sang Buddha;
  2. Majjhima nikāya: 152 buah dialog setengah panjang oleh Sang Buddha;
  3. Saṁyutta nikāya: dialog-dialog lebih pendek yang dkelompokkan menurut 56 topik yang beraneka-ragam;
  4. Aņguttara  nikāya: terdiri atas dialog-dialog pendek yang disusun dari yang sedikit  kata sampai yang banyak,                                                                                           
  5. Khuddaka nikāya: terdiri atas 15 bunga rampai atau teks yang mandiri (misalnya Khuddaka Pāṭha, Dhammapada, Udana, Jātaka Pāli dsb).
  6. Vinaya piṭaka: keranjang yang berisi aturan disiplin untuk para anggota Saṅgha, yang pria maupun wanita.

Bagian-bagian penting Vinaya:           

 (i) Pārājikā Pāli: (sebagian dari Sutta-vibhaṅga) – bagian ini terdiri atas pembabaran rinci tentang 49 aturan disipilin untuk para bhikkhu;

(ii) Pācittiya Pāli: (sebagian dari Sutta-vibhaṅga) – Bagian ini terdiri atas aturan-aturan di kelompok-kelompok Pācittiya and sekhiyā, 7 Adhikaranasamatha, dan aturan-aturan Bhikkhuni-vibhaṅga.

(iii) Mahāvagga Pāli: (buku pertama kelompok Khandaka). Bagian ini terdiri atas 10 bab yang menyajikan beberapa buah peristiwa penting dalam sejarah awal Buddhisme dan Saņgha, beberapa aturan penting yang mengatur kehidupan bhikkhu serta organisasi keviharaan mereka.                                                                                          

Bab 1: Peristiwa-peristiwa pembuka dalam sejarah Buddhisme; Pencerahan, Khotbah Pertama, 60 orang Siswa pertama, kunjungan pertama ke Rājagaha dsb;                                Bab 2: upacara Uposatha, perbatasan (sīma);                                        

Bab 3 & 4: tinggal selama musim hujan (vassa);  

 Bab 5: Cammakkhandaka;                        

Bab 6 6:  Bhesajjhakkhandaka;    

Bab 7: beberapa aturan;                                     

Bab 8:  Kaṭhina,                            

Bab 9: Putusan-putusan kebhikkhuan, dan      
 Bab 10: Pembahasan tentang perselisihan.

(iv) Cullavagga Pāli: (buku kedua kelompok Khandaka): bagian ini terdiri atas 12 bab:

  1. Kammakkhandaka: hukuman;  2. Perilaku bhikkhu; 3. Aturan Vinaya; 4. Penyelesaian persoalan aturan; 5-6-8: Aturan tentang kehidupan sehari-hari; 7. Kisah pelantikan bhikkhu dan samanera; 9. Pengulangan Pātimokkha; 10. Sanņha Bhikkhuni; 11. Konsili Buddhist Pertama aliran Theravāda; and  12. Konsili kedua Buddhis.

Parivāra Pāli: kami tidak menemukan jenis bagian ini di sekte-sekte Buddhis yang lain. Bagian ini kelihatan sebagai lampiran ke sebuah naskah yang sudah selesai. Bagian ini sejenis matriks bagi bagian lain Vinaya Pitaka. Memang kami menemukan ringkasan dan penggolongan aturan Vinaya.                                                                                                  

  (3) Abhidhamma piṭaka: Keranjang ini membabarkan perkataan Sang Buddha menurut realisme etis dan disebut sebagai “Ajaran Agung,” “Ajaran Tanpa Tanding,” atau “Ajaran yang Baik Sekali.” Ketujuh buah buku Abhidhamma yang fundamental: Dhammasaṅgani, Vibhaṅga, Dhātukathā, Puggla paññatti, Kathāvatthu, Yamaka, dan Paṭṭhāna.

Pembelajaran, penguncaran, dan pengajaran demikian penting, tetapi mempraktikkannya jauh lebih penting menurut stanza di atas.

Tjan
Tjanhttps://www.tjansietek.com
A senior Indonesian-English sworn translator, former licensed personal advisor and analyst in the Indonesian capital markets, former college lecturer in English for Buddhism, Tipitaka translator, senior member of the Indonesian Translators Association and Indonesian Therevadin Buddhist Council, recipient of the Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka award given by the Ministry of Religions of the Republic of Indonesia, Buddhist preacher under the same ministry

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Apakah ada yang bisa kami bantu?