Mukjijat 2: Seorang Pria, beristri & 2 putra, berubah menjadi wanita, punya 2 putra lagi, lalu menjadi pria lagi

Stanza 43 Dhammapada: Riwayat Soreyya

The Story of Soreyya

 (Due to his wrongful thoughts on the Arahant Mahākaccāyana, a married man with two sons changed into a woman and married another man, gave birth to two sons and re-changed into his original form, a man, and became a member of the Order and then an Arahant)

(Karena pikiran jahatnya tentang Arahat Mahākaccāyana,  pria yang punya isteri dan dua orang putra  berubah wujud menjadi wanita, lalu ia menikah dengan seorang pria dan melahirkan dua orang putra, kemudian berubah lagi menjadi wujud semulanya, yaitu pria, dan menjadi anggota Saṅgha, kemudian Arahat)

1. While residing at the Jetavana monastery, the Buddha uttered stanza 43 of this book, with reference to Soreyya, the son of a rich man of Soreyya city.

On one occasion, Soreyya accompanied by a friend and some attendants was going out in a luxurious carriage for a bath. At that moment, Thera Mahākaccāyana was adjusting his robes outside the city, as he was going into the city of Soreyya for alms-food. The youth Soreyya, seeing the golden complexion of the thera, thought, “How I wish the thera were my wife, or else that the complexions of my wife were like that of his.” As the wish arose in him, his sex changed and he became a woman. Very much ashamed, he got down from the carriage and ran away, taking the road to Taxila. His companions missing him, looked for him, but did not find him.

1.    Ketika berdiam di Vihāra Jetavana, YMS Buddha mengucapkan Stanza 43 dari buku ini, dengan mengacu pada Soreyya, putra seorang kaya di Kota Soreyya. 

Pada suatu ketika, Soreyya, dengan didampingi seorang teman dan beberapa orang pelayan sedang pergi keluar naik kereta mewah untuk mandi. Pada saat itu, Thera Mahākaccāyana sedang mengatur jubah beliau di luar kota itu karena beliau akan masuk ke kota itu untuk pindapāta. Melihat roman keemasan sang thera, pemuda Soreyya berpikir,” Seandainya sang thera adalah isteri saya, atau seandainya roman isteri saya adalah seperti roman beliau.” Begitu pengharapan itu timbul dalam dirinya, jenis kelaminnya berubah dan menjadi wanita.  Karena sangat malu, ia turun dari kereta dan berlari jauh sambil mengambil jalan ke Takkasilā (ibukota kerajaan Gandhāra, India). Teman-teman seperjalanannya kehilangan diirnya, mencarinya tetapi tidak dapat menemukannya.

2. Soreyya, now a woman, offered her signet ring to some people going to Taxila, to allow her to go along with them in their carriage. On arrival at Taxila, her companions told a young rich man of Taxilia about the lady who came along with them. The young rich man, finding her to be very beautiful and of a suitable age for him, married her. As a result of this marriage two sons were born; there were also two sons from the previous marriage of Soreyya as a man.

2.    Soreyya, yang saat itu sudah menjadi wanita, menawarkan cincin cap resminya kepada beberapa orang yang sedang menuju Takkasilā agar menginjinkannya ikut naik kereta mereka. Begitu tiba di Taxila, teman-team  seperjalanannya memberitahu seorang pria kaya di kota itu tentang wanita yang ikut mereka. Merasa Soreyya sangat cantik dan berusia yang cocok untuk dirinya, pria itu menikahinya. Sebagai salah satu hasil pernikahan itu, dua orang putra dilahirkan; juga ada dua orang putra yang lain dari pernikahan Soreyya yang sebelumnya ketika ia sebagai pria.

3. One day, a rich man’s son from the city of Soreyya came to Taxilia with five hundred carts. Lady-Soreyya recognizing him to be an old friend sent for him. The man from Soreyya city was surprised that he was invited, because he did not know the lady who invited him. He told the lady-Soreyya that he did not know her, and asked her whether she knew him. She answered that she knew him and also enquired after the health of her family and other people in Soreyya city. The man from Soreyya city next told her about the rich man’s son who disappeared mysteriously while going out for a bath. Then the Lady- Soreyya revealed her identity and related all that had happened, about the wrongful thoughts with regard to happened, about the wrongful thoughts with regard to the Thera happened, about the wrongful thoughts with regard to Thera Mahākaccāyana, about the change of sex, and her marriage to the young rich man of Taxila. The man from the city of Soreyya then advised the lady-Soreyya to ask pardon of the thera. Thera Mahākaccāyana was accordingly invited to the home of Soreyya and alms-food was offered to him. After the meal, the lady-Soreyya was brought to the presence of the thera, and the man from Soreyya told the thera that the lady was at one time the son of a rich man from Soreyya city. He then explained to the thera how Soreyya was turned into a female on account of his wrongful thoughts towards the respected thera. Lady-Soreyya then respectfully asked pardon of thera Mahākaccāyana. The thera than said, “Get up, I forgive you.” As soon as these words were spoken, the woman was changed back to a man. Soreyya then pondered  how within a single existence and with a single body he had undergone change of sex and how sons were born to him, etc. and feeling household weary and repulsive of all these things, he decided to leave the household life and joined the Order under the thera.

3. Suatu hari pemuda  yang putra seorang pria kaya dari kota Soreyya datang ke Takkasilā dengan lima ratus buah kereta. Karena mengenalinya sebagai salah seorang teman lamanya, Soreyya minta pemuda itu datang.   Pemuda itu terkejut karena ia diundang sedangkan ia tidak kenal wanita yang mengundangnya itu. Ia memberitahu Soreyya bahwa ia tidak mengenalnya dan bertanya kepada Soreyya apakah Soreyya mengenalnya.   Soreyya menjawab bahwa ia mengenal pemuda itu dan juga bertanya tentang kesehatan keluarga Soreyya serta orang-orang lain di kota Soreyya. Lalu, pemuda dari kota Soreyya itu memberitahunya tentang putra pria kaya yang telah hilang dengan misterius itu ketika sedang perjalanan keluar untuk mandi. Kemudian, Soreyya mengungkapkan identitasnya dan menceritakan semua yang telah terjadi, tentang pikiran-pikiran jahat mengenai Thera Mahākaccāyana, perubahan jenis kelamin dan pernikahannya dengan pria kaya dari Takkasilā. Lalu, pemuda dari kota Soreyya itu menasihati Soreyya untuk minta maaf dari thera tersebut. Karena itu, Thera Mahākaccāyana diundang ke rumah Soreyya dan Soreyya berdāna makanan kepada beliau. Setelah makan, Soreyya dibawa ke hadapan sang thera dan pemuda dari Soreyya itu memberitahu sang thera bahwa wanita itu pada suatu ketika adalah putra seorang pria kaya dari kota Soreyya. Lalu, ia menjelaskan kepada sang thera bagaimana Soreyya berubah menjadi wanita karena pikiran-pikiran jahatnya terhadap sang thera yang terhormat itu. Kemudian, Soreyya dengan penuh hormat minta maaf Thera Mahākaccāyana. Lalu, sang thera berkata,”Bangun, saya maafkan anda.” Begitu perkataan tersebut diucapkan, wanita itu berubah kembali menjadi pria. Lalu, Soreyya berpikir bagaimana dalam satu kehidupan saja dan dengan sebuah tubuh saja ia telah mengalami perubahan jenis kelamin dan bagaimana putra-putra telah dilahirkannya. Karena merasa sangat lelah dan jijik dengan semua hal itu, ia memutuskan meninggalkan kehidupan rumah tangga dan ikut Sańgha di bawah sang thera.

4. After that, he was often asked, “Whom do you love more, the two sons you had as a man or the other two you had as a wife?” To them, he would answer that his love for those born of the womb was greater. This question was put to him so often, he felt very much annoyed and ashamed. So he stayed by himself and with diligence, contemplated the decay and dissolution of the body. He soon attained arahatship together with the Analytical Insight. When the old question was next put to him he replied that he had no affection for any one in particular. Other bhikkhus hearing him thought he must be telling a lie. When reported about Soreyya giving a different answer, the Buddha said, “My son is not telling lies, he is speaking the truth. His answer, now is different because he has now realized arahatship and so has no more affection for anyone in particular by his well-directed mind my son mother can bestow on him.

4. Setelah itu, ia sering ditanya,”Siapa yang anda lebih sayangi, dua orang putra yang anda miliki ketika sebagai pria atau dua orang lainnya yang anda miliki ketika sebagai isteri?” Kepada mereka, ia menjawab bahwa rasa sukanya  untuk putra-putra yang lahir dari rahimnya adalah lebih besar. Pertanyaan itu diajukan kepada dirinya sedemikian sering sehingga ia berasa sangat jengkel dan malu. Jadi, ia menyendiri dan dengan ketekunan, merenungi kelapukan dan berurainya tubuh. Ia segera mencapai tingkat Arahat  berikut patisambhidā (Pengertian yang Analitis tentang Sifat Sejati Fenomena). Ketika pertanyaan lama itu diajukan kepada diri beliau, beliau menjawab bahwa beliau tidak memiliki rasa suka kepada siapa pun secara tertentu. Mendengar beliau demikian, bhikkhu-bhikkhu yang lain berpikir beliau pasti sedang berdusta. Ketika dilapori tentang Soreyya yang memberikan jawaban berbeda, YMS Buddha bersabda,”Putra-Ku tidak sedang berdusta, ia sedang berkata sesungguhnya. Jawabannya sekarang berbeda karena ia telah menjadi Arahat sehingga tidak ada lagi rasa suka kepada siapa pun secara tertentu. Dengan pikirannya yang sangat terarah, putra-Ku telah menimbulkan dalam dirinya suatu kebahagiaan dan kepuasan yang tidak dapat ayah ataupun ibu berikan kepadanya.”

5. Then the Buddha spoke in stanza as follows:

Stanza 43: Not a mother, nor a father, nor any other relative can do more for the well-being of one than a rightly-directed mind can.

At the end of the discourse many attained Sotapatti Fruition.

5. Kemudian YMS Buddha mengucapkan stanza sebagai berikut:

Stanza 43: Tidak seorang ibu, atau ayah, atau anggota keluarga lain pun dapat berbuat lebih banyak untuk kesejahteraan seseorang daripada pikiran yang terarah dengan benar.

Pada akhir khotbah itu banyak yang mencapai tingkat kesucian Sotapatti Phala, atau menjadi Sotapanna penuh. 

(Diterjemahkan oleh Tjan SieTek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah , dari The Dhammapada Verses and Stories, terjemahan Daw Mya Tin, M.A., yang disunting oleh Komite Penyuntingan Persatuan Tipitaka Myanmar, Rangoon, Myanmar, 1986)

(Translated by Tjan Sie tek, M.Sc., Sworn Translator, from The Dhammapada, Verses and Stories, translated by Daw Mya Tin, M.A., edited by the Editorial Committee of the Myanmar Tipitaka Asssociation, Rangoon, Myanmar, 1986)

Tjan
Tjanhttps://www.tjansietek.com
A senior Indonesian-English sworn translator, former licensed personal advisor and analyst in the Indonesian capital markets, former college lecturer in English for Buddhism, Tipitaka translator, senior member of the Indonesian Translators Association and Indonesian Therevadin Buddhist Council, recipient of the Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka award given by the Ministry of Religions of the Republic of Indonesia, Buddhist preacher under the same ministry

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Apakah ada yang bisa kami bantu?