Home Blog Page 4

Belajar dari Sifat-Sifat Luhur YA Sāriputta

0

Ibunda YA Sāriputta adalah brahmana wanita yang kukuh dan selama bertahun-tahun tetap bermusuhan dengan Ajaran Sang Buddha dan para pengikut-Nya.

Di stanza 400 Kitab Penjelasan Dhammapada (Dhammapada-atthakathā) dikisahkan bahwa pada suatu kali, ketika YA Sāriputta berada di desa kelahiran beliau, yaitu Nālaka, dengan rombongan besar bhikkhu, beliau datang ke rumah Rūpasārī, ibunda beliau,* dalam perjalanan beliau ber-piḍapāta. Sang ibunda memberi tempat duduk kepada beliau dan menyajikan makanan, tetapi saat melakukannya, sang ibunda mengucapkan kata-kata penghinaan: “Wahai, pemakan sisa orang lain! Saat kamu tidak mendapatkan sisa bubur beras yang sudah asam, kamu pergi dari rumah ke rumah di antara orang yang tidak dikenal, menjilati sisa-sisa dari bagian belakang sendok! Dan itulah alasan kamu meninggalkan kekayaan kita yang bernilai delapan puluh crore (1 crore= 10 juta keping uang) dan menjadi bhikkhu! Kamu telah menghancurkanku! Sekarang lanjutkan dan makanlah!”

Begitu juga, sambil menyajikan makanan kepada para bhikkhu lainnya, sang ibunda berkata: “Jadi! Kamu adalah orang-orang yang menjadikan anakku sebagai anak buahmu! Lanjutkan, makan sekarang!” Demikianlah ia terus memaki mereka, tetapi YA Sāriputta tidak berkata sepatah kata pun. Beliau mengambil makanan beliau, memakannya, dan dengan hening kembali ke vihara. Sang Buddha mendengar kejadian itu dari YA Rāhula, putra-Nya, yang pada saat itu berada di antara para bhikkhu. Semua bhikkhu yang mendengar hinaan itu heran atas kesabaran besar Sang Sesepuh. Di tengah-tengah pertemuan, Sang Buddha memuji YA Sāriputta dengan mengucapkan Stanza 400 Dhammapada ini:

Orang yang bebas dari kemarahan, yang taat pada tugas agama, yang mematuhi sīla, yang bebas dari nafsu rendah, yang dirinya terkendali, yang sedang memikul tubuh terakhirnya, dialah yang saya sebut sebagai brahmana.

Menjelang YA Sāriputta meninggal dunia, yaitu mencapai Nibbāna tanpa sisa, beliau berhasil mengubah ibunda beliau dengan sedemikian rupa sehingga sang ibunda menjadi sangat yakin pada Sang Buddha dan menjadi Sotāpanna.

Jadi, peristiwa penghinaan di atas mengingatkan kita lagi pada sifat-sifat luhur YA Sāriputta —rendah hati, sabar, dan menahan diri.

*ayahanda beliau bernama Vaṅganta, seorang brahmana.

 (TST)

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 24. YA Sujātā Therī

0

(Sumber gambar: Pribadi)

24. YA Sujātā Therī

Beliau adalah anak seorang seṭṭhi (bendahara kerajaan, yang jabatannya dapat diwariskan; pedagang kaya-raya) di Sāketa dan dinikahkan kepada seorang suami yang berperingkat setara dan hidup berbahagia dengannya. Pada suatu hari, ketika dalam perjalanan pulang dari sebuah karnaval, beliau melihat Sang Buddha di Añjanavana dan mendengarkan ceramah beliau. Persis ketika YA  Sujātā duduk di sana, pandangan terang beliau menjadi sempurna dan beliau menjadi Arahat (Therīgāthā 6.4).

24. The Venerable Sujātā Therī

She was the daughter of a seṭṭhi (royal treasurer, whose post can be bequeathed; wealthy merchant) of Sāketa and was given in marriage to a husband of equal rank, with whom she lived happily. One day, while on her way home from a carnival, she saw the Buddha at Añjanavana and listened to his preaching. Even as she sat there her insight was completed and she became an Arahant (Therīgāthā 6.4).

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 23. YA Yasodharā Therī

(Sumber gambar: Pribadi)

23. YA Yasodharā Therī

Juga dikenal sebagai  Rāhulamātā, YA Yasodharā adalah sepupu dan lahir pada tanggal yang sama dengan Pangeran Siddhatta Gotama (yang kemudian menjadi Sang Buddha). (Lihat Diagram Keturunan di Kisah 1)

Beliau menikah dengan Pangeran Siddhatta pada usia 16 tahun.

Pada Candakinnara Jātaka (Jātaka 485) Raja Suddhodana bercerita kepada Sang Buddha bahwa bagaimana Putri Yasodharā dengan setia tetap mencintai Sang Buddha walaupun ditinggalkan oleh beliau.

Halaman 103 Vinaya Piṭaka mencatat bahwa ketika Sang Buddha mengunjungi Raja Suddhodana, ayah-Nya, Putri Yasodharā mengirimkan Rāhula kepada beliau sambil berkata, “Itulah ayahmu. Mintalah warisanmu dari beliau. “ Rāhula kecil mendekati Sang Buddha dan atas permintaan Sang Buddha ditahbiskan oleh YA Sāriputta.

Kemudian, ketika Sang Buddha mengijinkan wanita masuk Saṅgha, Putri Yasodharā menjadi bhikkhuni di bawah YA Mahāpajāpatī Gotami.

YA Yasodharā diumumkan sebagai bhikkhunī terkemuka dalam pencapaian abhiññā.

YA Yasodharā mencapai Parinibbāna pada usia 78, 2 tahun sebelum Parinibbāna Sang Buddha.

23. The Venerable Yasodharā Theri

Also known as Rāhulamātā, the Venerable Yasodharā was the cousin of and born on the same day with Prince Siddhatta (who would then become the Buddha). (See the genealogical chart in Story 1)

She married him (Gotama) at the age of sixteen.

In Candakinnara Jātaka (Jātaka 485) King Suddhodana told the Buddha how devotedly Princess Yasodharā continued to love him notwithstanding He left her.

Page 103 of Vinaya Texts records that when the Buddha visited His father King Suddhodana, Princess Yasodharā sent Rāhula to him saying, “That is your father, go and ask him for your inheritance.” Young Rāhula followed the Buddha, and, at the Buddha’s request, was ordained by the Venerable Sāriputta.

Later, when the Buddha allowed women to join the Order, Princess Yasodharā became a nun under The Venerable Mahāpajāpatī Gotami.

The Venerable Yasodharā was declared chief of those who obtained great supernormal powers.

The Venerable Yasodharā died at 78, 2 years before the Buddha’s Parinibbāna.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

32 Murid Utama Buddha Gotama: 22. YA Paṭācārā Therī

0

(Sumber gambar: Pribadi)

22. YA Paṭācārā Theri

Beliau lahir di sebuah keluarga kaya di Sāvatthi dan, ketika masih gadis muda, jatuh cinta dengan seorang pelayan ayah beliau. Kemudian, beliau menjadi hamil karena hubungan dengan pelayan tersebut, meninggalkan rumah beliau dan tinggal di suatu tempat.

Sebelum kelahiran anak kedua beliau, beliau minta sang suami membawa beliau ke rumah orang tua beliau. Dalam perjalanan ke sana beliau melahirkan anak kedua dan sang suami membangun sebuah tempat berteduh untuk melindungi beliau dari hujan. Seekor kobra datang dan menggigit sang suami sehingga meninggal dunia dengan seketika. Sambil menangis, beliau memegang anak pertama beliau, menggendong bayi yang baru lahir tersebut di satu sisi dan berjalan kaki ke Sāvatthi. Dari suatu tempat beliau menyebrang Sungai Aciravati sambil menggendong bayinya di satu sisi. Kemudian, beliau meletakkan bayi tersebut di tepi sungai. Ketika beliau sedang menyeberangi kembali sungai tersebut untuk menjemput anak pertama beliau, seekor elang besar menyambar dan terbang jauh dengan bayi tersebut. Beliau berhenti di tengah sungai dan berteriak. Anak pertama beliau berpikir beliau sedang memanggilnya dan mulai menyusul beliau. Tetapi, anak tersebut tersapu jauh oleh arus sungai. Beliau melanjutkan perjalanan ke Sāvatthi sambil menangis.

Di sana beliau mendapati rumah masa kecil beliau hancur oleh angin ribut pada malam sebelumnya dan semua penghuninya meninggal dunia. Yang tersisa hanya onggokan kayu api kremasi. Beliau menjadi gila, berlari telanjang dan, karena itu, diberi nama panggilan Paṭācārā.

Beliau akhirnya menjumpai Sang Buddha di Vihāra Jetavana yang berkata kepada beliau: ”Saudari, sadarlah kembali!” Dengan demikian, Sang Buddha menjadikan beliau menyadari penderitaan atau dukkha, beliau.

Kemudian, beliau ditahbiskan sebagai bhikkhunī dan dengan rajin melakukan perenungan-perenungan serta menjadi Arahat. Beliau terkemuka dalam Vinaya.

22. The Venerable Paṭācārā Therī

She was born to a wealthy family in Sāvatthi and, as a young girl, fell in love with a servant of her father. She then became pregnant through her relationship to the servant, fled her home and lived in a certain place.

Prior to the birth of her second child, she asked her husband and to take her to her parents’ home. On the way there she gave birth to her second child and he built a shelter to protect her from rains. A cobra came and bit him and he immediately died. Weeping, she held her first child, carried her newborn baby on one side and walked on foot to Sāvatthi. From a certain place she crossed the river Aciravati carrying her baby on one side. She then put the baby on the river bank. As she was crossing back the river to fetch her first child, a large hawk snatched and flew off with the baby. She stopped midway and shouted. Her firstborn child thought she was calling him and started out after her. But, the child was swept off by the river current. She continued her journey to Sāvatthi weeping.

There she found her childhood home was destroyed by a storm the night before and all the inhabitants died. What remained was only the funeral pyre wood. She went mad, ran naked and, hence, was nicknamed Paṭācārā.

She eventually saw the Buddha in the Jetavana Monastery who told her: ”Sister, regain your mindfulness!” The Buddha thus made her mindful of her suffering, or dukkha.

She was then ordained as a nun and diligently conducted contemplations and attained arahantship. She was foremost in the Vinaya, or the Monastic Discipline.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 21. YA Upalavaṇṇā Therī

21. YA Upalavaṇṇā Therī

Beliau lahir di keluarga kaya di Sāvatthi dan diberkahi dengan kulit yang mirip sebagian dari bunga teratai coklat dan, karena itu, merupakan arti nama beliau. Sebagai seorang gadis muda, beliau demikian cantik dan menarik sehingga semua keluarga kaya ingin menjadikan beliau menantu. Untuk tidak mengecewakan mereka, ayah beliau mengirimkan beliau ke vihāra untuk ditahbiskan. Kemudian, beliau menjadi Arahat melalui renungan tentang api di sebuah lampu minyak.

Sebagaimana Sang Buddha menunjuk dua orang murid utama dalam Saṅgha, yaitu YA Sāriputta dan Moggāllana, beliau juga menunjuk dua orang wanita sebagai murid-murid utama dalam Saṅgha Bhikkhunī. Mereka adalah YA Upalavaṇṇā, terkemuka dalam abhiññā (kekuatan batin yang tinggi), dan YA Khemā, terkemuka dalam pañña (kebijaksanaan) (AN I, Bab 14). Sang Buddha memuji keduanya sebagai teladan dan contoh bagi semua bhikkhunī lain untuk dicontoh, yang merupakan standar untuk menilai diri mereka sendiri. Sang Buddha bersabda: ”… kamu seharusnya menjadi seperti Bhikkhunī Khemā dan  Upalavaṇṇā.” (SN 17:24).

Dalam menjawab Māra, YA Upalavaṇṇā berkata:

“Walaupun seandainya seratus ribu orang penjahat
yang persis kamu datang ke sini,
aku tidak gemetar sedikit pun, aku tidak merasa takut sama sekali;
bahkan sendirian pun, Māra, aku tidak takut kamu.

“Aku dapat menghilang
Atau dapat memasuki perutmu.
Aku dapat berdiri di antara bulu matamu
Namun, kamu tidak akan melihatku barang sedikit pun.

“Aku adalah penguasa pikiranku sendiri,
Fondasi-fondasi kekuatanku sangat kuat;
Aku bebas dari semua belenggu,
Karena itu, aku tidak takut kamu, kawan.”
[SN, 5:5(5)]

21. The Venerable Upalavaṇṇā Theri

She was born to a wealthy family in Sāvatthi and was endowed with skin which looked like part of brown lotus flowers and, hence, the meaning of her name. As a young girl, she was so beautiful and attractive that all wealthy families wanted to make her their daughter-in-law. In order not to disappoint them, her father sent her to the monastery to be ordained as a nun. She then attained arahantship through the recollection of the fire in an oil lamp.

Just as the Buddha has appointed two chief disciples in the order of monks, Sāriputta and Moggāllana, he likewise named two women his foremost disciples in the Bhikkhuni Sangha, the order of nuns. These two were the bhikkhunis Upalavaṇṇā and Khemā, the former excelling in psychic power, the latter in wisdom (AN I, chap.14). The Buddha has held up these two as the models and examples for all the nuns to emulate, the standard against which other nuns could evaluate themselves. The Buddha says:“… you should become like the bhikkhunis Khemā and  Upalavaṇṇā.” (SN 17:24).

In answer to Māra, see remarked:

“Though a hundred thousand rogues
Just like you might come here,
I stir not a hair, I feel no terror;
Even alone, Māra, I don’t fear you.
“I can make myself disappear
Or I can enter inside your belly.
I can stand between your eyebrows
Yet you won’t catch a glimpse of me.

“I am the master of my mind,
The bases of power are well developed;
I am freed from all bondage,
Therefore I don’t fear you, friend.”
[SN, 5:5(5)]

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

32 Murid Utama Buddha Gotama: 20. YA Mahāpajāpatī Gotami Therī

0

(Sumber gambar: Pribadi)

20. YA Mahāpajāpatī Gotami Therī

Beliau lahir di dalam sebuah keluarga Sakya di Devadaha sebagai putri Raja Suppabuddha dan merupakan adik Ratu Mahāmāyā, ibu Pangeran Siddhattha, yang meninggal dunia ketika pangeran berusia tujuh hari. (Lihat diagram silsilah Sang Buddha)

Lalu, Pangeran Siddhattha dibesarkan oleh Ratu Mahāpajāpatī Gotami.

Setelah Sang Buddha menyelesaikan vassa-Nya yang kelima, Raja Suddhodana menjadi Arahat dan mencapai Parinibbāna pada hari itu juga.

Halaman 521-524 Vinaya Piṭaka mencatat bahwa ratu dan sejumlah wanita suku Sakya ingin menjadi bhikkhuni. YA Ᾱnanda mendukung niat itu dan memohon kepada Sang Buddha agar mereka ditahbiskan  sebagai bhikkhuni.

Pada Nandakovada Sutta (MN 146) Sang Buddha memerintahkan YA Nandaka untuk membabarkan Dhamma kepada YA Mahāpajāpatī Gotami dan 500 bhikkhuni yang lain dan, setelah pembabaran yang kedua, YA Mahāpajāpatī Gotami menjadi Arahat. Lima ratus orang bhikkunī lainnya mencapai berbagai tingkat kesucian.

Therigatha 6.6 mencatat pujian-pujian YA Mahāpajāpatī Gotami tentang Sang Buddha.

Pada usia 120 tahun beliau mencapai Parinibbāna dan juga kelima ratus orang bhikkhuni lainnya di kota Vesāli.

YA Ᾱnanda mengumpulkan dan memasukkan relik beliau ke dalam mangkuk yang biasanya beliau pakai.

20. The Venerable Mahāpajāpatī Gotami Theri

Born to a Sakyan family in Devadaha, she was King Suppabuddha’s daughter and the younger sister of Queen Mahāmāyā, Prince Siddhattha’s mother, who passed away when the prince reached the age of seven days. (See the Buddha’s genealogical chart)

The prince was then brought up by Queen Mahāpajāpatī Gotami.

After the Buddha completed His fifth rains retreat, King Suddhodana became an Arahant and reached final Nibbāna on the same day.

Pages 522-524 of Vinaya Texts record that The queen and a number of women of the clan Sakyan intended to become nuns, or bhikkhunis. The Venerable Ᾱnanda was supportive of the intention and made a request to the Buddha that they be ordained as nuns.

In the Nandakovada Sutta the Buddha ordered the Venerable Nandaka to preach the Dhamma to Mahāpajāpatī Gotami and another 500 nuns and, after the second preaching, she  attained Arahantship. The other five hundred nuns attained different degrees of sainthood.

Therigatha 6.6 records the praises spoken by her of the Buddha.

At the age of 120 years she reached her final Nibbāna and so did her five hundred fellow nuns in the city of Vesāli.

The Venerable Ᾱnanda gathered and put her relics into the bowl usually used by her.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 19. YA Nāgasena Thera

0

(Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-vector/buddha-flat-illustration_4186263.htm#page=7&query=buddhist%20monk&position=33&from_view=search&track=ais)

19. YA Nāgasena Thera

Kitab Pertanyaan Raja Milinda mencatat bahwa beliau adalah putra Brahmana Sonuttara di desa Kajaṅgala di Pegunungan Himālaya.

Beliau sangat fasih dalam Triveda dan masuk Saṅgha di bawah YA Rohaṇa untuk belajar Dhamma Sang Buddha. Kemudian, beliau pergi belajar dari YA Assagutta di pertapaan Vattaniya. Di sana, pada suatu hari setelah selesai makan dan sambil berterima kasih kepada seorang umat awam wanita yang telah melayani YA Assagutta selama lebih dari 30 tahun, YA Nāgasena menjadi Sotāpanna. Lalu, beliau dikirim ke  Pāṭaliputta, tempat beliau belajar di bawah YA Dhammarakkhita dan di sana menjadi Arahat. Setelah itu, beliau pergi ke parivena (lembaga pendidikan tinggi; seminari) Saṅkheyya di Sagala, tempat beliau bertemu dengan Raja Milinda. Diskusi-diskusi mereka tercatat dalam Kitab Pertanyaan Raja Milinda.

Menurut cerita dalam kehidupan yang sebelumnya, beliau adalah dewa yang bernama Mahāsena dan tinggal di sebuah istana yang bernama Ketumatῑ di Surga Tāvatiṁsa serta setuju untuk lahir di dunia manusia atas permintaan yang mendesak dari Dewa Sakka dan para Arahat yang dipimpin oleh YA Assagutta.

19. The Venerable Nagasena Thera

The Questions of King Milinda records that he was the son of the Brahmin Sonuttara, in the village of Kajaṅgala in the Himālayas.

He was well versed in the Vedas and entered the Order under the Venerable Rohaṇa to learn the Buddha’s teaching. Later he went to the Venerable Assagutta of the Vattaniya senāsana and studied under him. There, one day, at the conclusion of a meal, while giving thanks to a lay woman who had looked after the Venerable Assagutta for more than thirty years, the Venerable Nāgasena became a Sotāpanna. Then he was sent to Pāṭaliputta, where he studied under the Venerable Dhammarakkhita, and there he attained arahantship. Subsequently he went to the Saṅkheyya parivena in Sagala, where he met King Milinda. Their discussions were recorded in book entitled “the Questions of King Milinda.”

The book says that in his previous birth he was a deva, named Mahāsena, living in Tāvatiṁsa, in a palace called Ketumatῑ, and that he consented to be born among men at the insistent request of Sakka and the Arahants led by the Venerable Assagutta.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 17. YA Girimānanda Thera

0

(Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/monks-performing-a-ritual-11393075/)

17. YA Girimānanda Thera

Beliau adalah putra seorang menteri Raja Bimbisāra dan masuk Saṅgha setelah melihat keajaiban yang diperlihatkan oleh Sang Buddha ketika memasuki Rājagaha.

Lalu, beliau tinggal di sebuah desa untuk belajar tetapi suatu hari ketika datang ke Rājagaha untuk mengunjungi Sang Buddha, Raja Bimbisāra minta beliau tetap di sana dengan janji akan menjaga keperluan beliau. Namun, sang raja lupa tentang janjinya sehingga YA Girimānanda harus berdiam di ruang terbuka. Para dewa, yang takut menjadikan tubuh beliau basah, menghentikan hujan. Setelah mengamati musim kering dan mengetahui sebabnya, sang raja membangun sebuah pertapaan tempat beliau menerapkan energi dan menjadi Arahat.

Giri Sutta diucapkan dengan mengacu pada YA Girimānanda ketika beliau berbaring dalam keadaan sakit berat.

17. The Venerable Girimānanda Thera

He was the son of King Bimbisāra’s chaplain and, having seen the wonders of the Buddha when the Buddha entered Rājagaha, joined the Order.

He then lived in a village studying, but one day, when he came to Rājagaha to visit the Buddha, the king asked him to remain, promising to look after him. The king, however, forgot his promise, and Girimānanda had to live in the open. The gods, fearing to wet him, stopped rains. The king, observing the drought and discovering the reason for it, built him a hermitage wherein the Thera put forth effort and became an Arahant.

The Giri Sutta was preached in reference to the Venerable Girimānanda when he lay grievously ill.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 18. YA Gavampati Thera

0

(Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/silhouette-photo-of-monk-holding-umbrella-2730212/)

18. YA Gavampati Thera

Beliau adalah putra seorang seṭṭhi (bendahara kerajaan, yang jabatannya dapat diwariskan; pedagang kaya-raya) di Benares dan satu di antara empat orang teman sejalan YA Yasa, yang ketika mendengar tentang keluarnya YA Yasa dari kehidupan perumah tangga, mengikuti jejak YA Yasa dan menjadi Arahat. Tiga orang lainnya adalah YA Vimala, Subahu dan Punnaji (VT: 59-60).

Kemudian, YA Gavampati tinggal di Añjanavana di Sāketa. Pada suatu hari ketika Sang Buddha mengunjungi Añjanavana, beberapa di antara bhikkhu yang menyertai-Nya tertidur di tepi yang berpasir dari Sungai Sarabhū. Sungai itu meluap pada malam hari dan terjadi kecemasan besar. Sang Buddha mengirimkan YA Gavampati untuk menangkal banjir tersebut. YA Gavampati melakukannya dengan abhiññā (kekuatan batin) beliau. Air berhenti jauh sekali sehingga terlihat seperti puncak gunung (DPPN).

Pāyāsi Sutta (DN 23) mencatat bahwa YA Gavampati sering beristirahat siang di Istana  Serissaka yang kosong di Surga Cātummahārajika dan mengadakan percakapan dengan dewa yang sebelumnya adalah Pangeran Pāyāsi dari Kosala. Melalui beliau, dewa tersebut mengirimkan pesan yang berikut ini kepada penduduk bumi kita: ”Yang Mulia, orang yang berdana tanpa mendumel … lahir kembali di alam Tiga Puluh Tiga Dewa (Tāvatiṁsa), tetapi, saya, yang berdana dengan enggan, telah lahir kembali di Istana Serissaka yang kosong ini. Yang Mulia, ketika Yang Ariya kembali ke bumi manusia, tolong minta mereka berdana tanpa enggan … dan beritahu mereka tentang bagaimana Pangeran Pāyāsi dan Brahmana muda Uttara telah lahir kembali.”

18. The Venerable Gavampati Thera

He was the son of a seṭṭhi (royal treasurer, whose post can be bequeathed; wealthy merchant) in Benares and one of the four lay companions of the Yasa Thera, who, when they heard of Yasa’s renunciation, imitated him and won Arahantship.

Later, Gavampati lived in the Añjanavana at Sāketa. One day, when the Buddha visited the Añjanavana, some of the monks accompanying him slept on the sandbanks of the Sarabhū. The river rose in the night and there was great dismay. The Buddha sent Gavampati to stem the flood, which he did by his iddhi-power. The water stopped afar off, looking like a mountain peak. (Dictionary of Pali Proper Names).

The Pāyāsi Sutta (DN 23) says that Gavampati often spent his midday rest in the empty Serissaka mansion in the Cātummahārajika world and held conversations with a god that was previously Prince Pāyāsi of Kosala. Through him, this god sent the following message to the inhabitants of the earth: ”Lord, he who gave the charity ungrudgingly … was reborn in the realm of the Thirty-three Gods, but I, who gave grudgingly, …. have been reborn in the empty Serissaka mansion. Lord, please, when you return to earth, tell people to give ungrudgingly … and inform them of the way in which Prince Pāyāsi and the young Brahmin Uttara have been reborn.”

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 16. YA Kaccāyana Thera

(Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/buddhist-monk-in-robes-15147013/)

16. YA Kaccāyana Thera

Terlahir di kota Ujjenī sebagai anak seorang menteri kerajaan dengan warna kulit keemasan sehingga beliau dinamai Kaccāna. Setelah dewasa, beliau menguasai Triveda. Setelah sang ayah meninggal, beliau mewarisi posisi yang sama.

Setelah menjadi siswa Sang Buddha dengan perkataan ‘Mari, bhikkhu,’ beliau menjadi Arahat bersama tujuh orang siswa lainnya. Beliau lebih dikenal dengan nama YA Kaccāyana Thera.

Sang Buddha menganugerai beliau gelar sebagai bhikkhu yang berkemampuan terbaik dalam menjelaskan secara rinci dan analitis apa yang telah diungkapkan secara singkat.

16. The Venerable Kaccāyana Thera

Born as the son of a Purohita, or royal minister, in the city of Ujjenῑ, he had golden skin and, therefore, was named Kaccāna. After majority he mastered the Triveda. Following his father’s death, he was inherited with the same position.

After he was admitted as another disciple of the Buddha using the Ehi Bhikkhu, or Come, monks, formula, he reached arahantship together with another seven disciples. He was better known as the Venerable Kaccāyana Thera.

The Buddha granted him the title of the monk who was the most capable of explaining in detail and analytically what is briefly stated.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Apakah ada yang bisa kami bantu?