Pattidāna: Latar Belakang, Arti dan Manfaatnya

1.Latar Belakang

         1.1  Menurut Dullabha Sutta, Tikanipātapāḷi (12)(2)(2), Ańgutarra Nikāya,

ada tiga manusia yang sulit muncul di dunia ini:

1) Tathāgata yang merupakan Arahat dan Sammasaṁbuddha;

2) Orang yang mampu membabarkan Dhamma & Vinaya sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha; dan

3) Orang yang tahu terima kasih dan mengingat perbuatan orang lain bagi dirinya (kataññu katavedī, atau kataññu katavedin).

1.2 Di Sigālovāda (atau Sigālaka) Sutta, Digha Nikāya 31, setelah orangtuanya meninggal (menjadi petā), seorang anak wajib melimpahkan dakkhiṇā* kepada mereka (… pana petānaṁ kalańkatanaṁ dakkhiṇam anuppadassāmi).

Catatan:

  • dakkhiā: adalah persembahan kepada orang suci atas nama makhluk-makhluk menderita di alam peta, yang ditujukan untuk membantu meringankan penderitaan makhluk-makhluk itu (Davids & Stede, 1921-1925:146, Part IV). dakkhiā juga berarti (1) uang jasa atau bayaran, misalnya guru-dakkhiā ‘uang jasa kepada guru;’ (2) selatan (Davids & Stede, idem).
  • Istilah dakkhiā juga dipakai sebagai bagian dari judul sebuah sutta, yaitu Dakkhiāvibańga Sutta, Majjhima Nikāya, yang membahas 14 makhluk hidup yang layak diberi persembahan.

1.2.1 Ajaran Sang Buddha tentang lima kewajiban anak kepada orang tua selengkapnya adalah sebagai berikut:

a. bhato ne (nesaṁ bāhusu) bharissāmi (saya akan membalas sokongan mereka sebelumnya)

b.kiccaṁ nesaṁ karissāmi (saya akan melaksanakan tugas-tugas atas nama mereka)

c. kulavaṁsaṁ ṭhapessāmi (saya akan menjaga garis keturunan)

d.  dayajjaṁ patipajjāmi (saya akan menjadikan diri saya layak menerima warisan); atha vā (atau)

e. pana petānaṁ kalańkatanaṁ dakkhiṇam anuppadassāmi (setelah mereka meninggal (menjadi petā), saya akan melimpahkan dakkhiṇā).

1.2.2 dakkhiṇā sebagai balas-budi kepada petā yang merupakan sanak-keluarga

Silakan baca stanza 9 dan 11 Tirokuḍḍa Vatthu di bawah ini:

  1.  Di alam petā (makhluk yang telah meninggal; mendiang), tidak ada kegiatan bercocok-tanam, perdagangan, peternakan dan jual-beli dengan emas (uang). Para petā hidup hanya hidup dengan apa yang diberikan dari sini (alam manusia). Silakan baca stanza-stanza 6 dan 7 di bawah ini,
  2. yang diambil dari Tirokuḍḍa Vatthu, Petavatthu 5:
  1. Ejaan, arti dan definisi Pattidāna
    1. Ejaan
  2. Davids & Stede (1921-1925:29, Bagian V): pattidāna
  3. Nyanatiloka (1988:265): patti-dāna
    1. arti
      1. patti: a. Davids & Stede (idem): (i) pencapaian, pemerolehan; (ii) apa yang diperoleh atau dicapai; (iii) keuntungan, laba, keunggulan; (iv) kebajikan, jasa, dengan makna khusus “pemberian yang dilakukan untuk keuntungan orang lain (=  dakkhinā*);” (v) apa yang mendapatkan atau memperoleh

1.3.2.2 dāna: pemberian, apa yang diberikan, persembahan, apa yang dipersembahkan.

1.1.2.3 pattidāna adalah sebuah kata majemuk deskriptif (kammadhāraya samāsa), yang berarti kata pertamanya (patti; kebajikan, jasa) menggambarkan kata keduanya (dāna).

Contoh-contoh lain kammadhāraya samāsa:

avijjapaccaya (paccaya yang berupa avijja),

kammapaccaya (paccaya yang berupa kamma)

ragaggi (api yang berupa nafsu rendah),

dosaggi (api yang berupa kebencian),

mohaggi (api yang berupa kebodohan batin)

Jadi, pattidāna secara tata bahasa berarti dāna yang berupa kebajikan atau jasa.

Secara umum, pattidāna berarti pelimpahan kebajikan atau jasa.

1.4 Pemakaian istilah pattidāna di aṭṭhakathā (kitab penjelasan)

Istilah ini dapat ditemukan di (a) Vimanavatthu-aṭṭhakathā (Kitab Penjelasan tentang Vimānavatthu: Cerita tentang Istana-Istana di Surga), misalnya di: 6. Vihāravimānavaṇṇanā: …, taṃ anumodatha, pattidānaṃ vo dammī’’ti. ‘‘Aho sādhu aho sādhū’’ti pasannacittā sabbāpi anumodiṃsu. Tattha aññatarā upāsikā visesato taṃ pattidānaṃ manasākāsi (“Mari kita ucapkan terima kasih untuk pattidāna itu dengan penuh hormat.” Dengan sukacita mereka semua mengucapkan terima kasih ‘Benar-benar bagus, benar-benar bagus!’ Di antara mereka, seorang upāsīka dengan pikiran khusus menerima pattidāna itu.), dan (b) di Petāvatthu-aṭṭhakathā, misalnya di: 1. Khettūpamapetavatthuvaṇṇanā: … pattidānavasena [dengan pattidāna (itu/ini)] ….; 2. Sāriputtattheramātupetivatthuvaṇṇanā: 158. ‘‘…, mayhaṃ pattidānaṃ dehi (Berilah saya pattidāna); 10. Khallāṭiyapetivatthuvaṇṇanā: mayhaṃ ādisa pattidānaṃ dehi (Berilah saya pattidāna yang seperti itu).

1.5 Definisi

1.5.1 Davids & Stede (idem):

pattidāna adalah (i) pemberian atau dāna yang dialihkan; (ii) pemberian kebajikan (sebagai perolehan yang bersifat permanen), pelimpahan kebajikan atau jasa (= dakkhinā).

1.5.2 Myanatiloka (idem):

pattidāna (secara harfiah) adalah pemberian apa yang diperoleh atau didapatkan, yaitu pelimpahan kebajikan atau jasa

1.5.3 Nyanatiloka (idem): pattidāna adalah salah satu di antara sepuluh dasar perbuatan yang menghasilkan kebajikan atau kebaikan (dasa puññakiriyavatthu):

Tiga di antaranya disebutkan di sutta-sutta: (i) sifat suka memberi, dermawan (dana-maya-puññakiriyavatthu); (ii) moralitas (sīla-maya-p.); dan (iii) meditasi (bhāvana-maya-p.).

Kitab-kitab penjelasan menyebutkan daftar sepuluh (dasa p.) yang sangat populer di negeri-negeri Buddhis:

(1)-(3) sudah disebutkan di atas;

(4) penghormatan (apaciti);

(5) pelayanan (veyyāvacca);

(6)pelimpahan kebajikan atau jasa (pattānuppadāna);

(7) bersuka-cita (ber-muditā-citta) ketika mengetahui atau mendengar kebajikan orang lain (abbhānumodāna);

(8) membabarkan Dhamma (dhammadesanā);

(9) mendengarkan Dhamma (dhammasavana); dan

(10) pelurusan pandangan benar seseorang (pembetulan pandangan; diṭṭhijukamma).’

  • Manfaatnya

Manfaat dan pentingnya pelimpahan dakkhiṇā (= pattidāna)  dirinci oleh Sang Buddha di Tirokuḍḍapetāvatthu (Cerita tentang Petā di Luar Tembok), Petāvatthu (Cerita-Cerita tentang Petā) 5.

Vatthu itu berbentuk gāthā (stanza, yaitu baris yang mirip puisi atau syair):

PaliIndonesiaInggris
1.” Tirokuḍḍesu tiṭṭhanti,
sandhisiṅghāṭakesu ca;
Dvārabāhāsu tiṭṭhanti,
āgantvāna sakaṁ gharaṁ



Versi 1: Di luar dinding mereka berdiri, di pertigaan dan perempatan jalan, juga dekat tiang-tiang pintu, demikianlah setelah mereka datang ke rumah mereka sendiri.Outside the walls they stand and at two and four-road junctions; at door posts, too, they stand, after they come to their old home.
 Versi 2: Setelah datang ke rumah mereka sendiri, mereka berdiri di luar dinding, di pertigaan dan perempatan; mereka juga berdiri dekat tiang-tiang pintu.Having come to their old home, outside the walls they stand and at road-forks and crossroads; At door posts, too, they stand.
2. Pahūte annapānamhi,
khajjabhojje upaṭṭhite;
Na tesaṁ koci sarati,
sattānaṁ kammapaccayā.



Makanan dan minuman melimpah – makanan yang keras maupun lainnya telah siap, tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri.    Plentiful food & drink–solid and other food- standby, But no one remembers them because of the results of the beings’ own kamma    
 Berlimpah makanan dan minuman—makanan yang keras maupun lembut telah siap, tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri. 
3. Evaṁ dadanti ñātīnaṁ,
ye honti anukampakā:
Suciṁ paṇītaṁ kālena,
kappiyaṁ pānabhojanaṁ


Karena itu, mempersembahkan kepada sanak-keluarga itulah orang-orang yang welas-asih: makanan dan minuman yang bersih, istimewa, yang sesuai dan pada waktu yang tepat, sambil berpikir:”    Thus those who feel sympathy for their dead relatives give timely, proper food & drinks, exquisite, clean — [thinking:]
 
4. Idaṁ vo ñātīnaṁ hotu,
sukhitā hontu ñātayo;
   




Te ca tattha samāgantvā,
ñātipetā samāgatā,

Pahūte annapānamhi,
sakkaccaṁ anumodare;


Semoga buah persembahan ini melimpah  kepada sanak-keluarga kami. Semoga sanak-keluarga kami bahagia!”  


Lalu, para petā, yang merupakan sanak-keluarga itu dan saling bertemu setelah berkumpul di sana, dengan penuh hormat berterima-kasih untuk makanan dan minuman yang berlimpah itu, dengan berkata:”
“May this accrue to our relatives. May our relatives be happy!”      



And those who have gathered there and met each other respectfully give appreciation for the plentiful food & drink, saying:              
5. Ciraṁ jivantu no ñātī
yesaṁ hetu* labhāmase
Amhākañ ca katā pūjā
dāyakā ca anipphalā
*moral condition

Semoga sanak-keluarga kami berumur panjang, karena merekalah kami mendapatkan keberuntungan ini; penghormatan telah diberikan kepada kami, dan para pemberi mendapatkan pahala!”“May our relatives live long, because of whom we have gained this fortune;
We have been honored, and the donors gain rewards!”
6. Na hi tattha kasī atthi
gorakkh’ etta na vijjati
vanijjā tādisī natthi
hiraññena kayakayaṁ      
Ito dinnena yāpenti
petā kālagatā tahiṁ.
Tidak pernah ada pertanian di sana (di alam petā), peternakan juga tidak ada di sana; tidak ada juga perdagangan dan jual-beli  dengan uang emas. Para mendiang hidup di sana dengan apa yang diberikan dari sini.There (in the realm of the dead), there’s never any farming, herding of cattle, commerce, trading with money.     The dead live on what is given from here.
 Tidak pernah di sana ada pertanian, peternakan juga tidak ada di sana tidak ada perdagangan dan jual-beli  dengan uang emas. Dengan apa yang diberikan dari sinilah para mendiang hidup di sana. 
7. Unname udakaṁ vuṭṭhaṁ,
yathā ninnaṁ pavattati;
Evamevaṁ ito dinnaṁ,
petānaṁ upakappati.
Bagaikan air hujan di dataran tinggi mengalir ke dataran rendah, demikian juga apa yang diberikan dari sini bermanfaat bagi para mendiang.As the rain water on a hill flows down to the valley, even so does what is given from here benefit the dead.  
8. Yathā vārivahā pūrā,
paripūrenti sāgaraṁ;
Evamevaṁ ito dinnaṁ,
petānaṁ upakappati.



Bagaikan sungai-sungai yang penuh air mengisi penuh lautan, demikian juga apa yang diberikan dari sini bermanfaat bagi para mendiang.As rivers full of water fill the ocean full, even so does what is given from here benefit the dead.  
9. Adāsi me akāsi me,
ñāti mittā sakhā ca me;
Petānaṁ dakkhiṇaṁ* dajjā,
pubbe katam-anussaraṁ.


dakkhiṇaṁ (pl.; sg. dakkhiṇā):
a donation given to a “holy” person with reference to (or on behalf of) unhappy beings in the peta realm, intended to induce the alleviation of their sufferings; an intercessional, expiatory offering; guru-dakkhiṇā ‘a teacher’s fee’ (Davids & Stede, 1921-1925:146, Part IV)  
Dia memberi kepada saya, dia berbuat untuk saya, dia adalah sanak, sahabat dan teman saya; dakkhiṇā* sebaiknya diberikan atas nama para petā
mengingat perbuatan yang mereka lakukan di masa lampau.

*dakkhiṇā: (i) pemberian kepada orang suci atas nama makhluk-makhluk menderita di alam peta, yang ditujukan untuk membantu meringankan penderitaan mereka; (ii) guru-dakkhiṇā ‘uang jasa kepada guru’ (Davids & Stede, 1921-1925:146, Bagian IV)
“He gave to me, she acted on my behalf, they were my relatives, companions, friends;”
Offerings should be given on behalf of the dead, remembering things done in the past.  
10. Na hi ruṇṇaṁ vā soko vā,
yā c’aññā paridevanā;
Na taṁ petānamatthāya,
evaṁ tiṭṭhanti ñātayo.
 
Tidak pernah tangisan atau kesedihan dan ratapan lain bermanfaat bagi para mendiang; sanak-keluarga itu (yaitu para mendiang) hidup terus secara demikian.  No weeping, no sorrowing no other lamentation ever benefits the dead; the relatives live on thus.  
11. Ayañca kho dakkhiṇā dinnā,
saṁghamhi suppatiṭṭhitā;
Dīgharattaṁ hitāy’ assa,
ṭhānaso upakappati.


Tetapi, sesungguhnya dakkhiṇa yang telah diberikan itu dan ditegakkan dengan kokoh dalam Sańgha bermanfaat secara seketika dan juga untuk jangka panjang.But, this offering which has been given, well-placed in the Sangha, Is beneficial immediately and for the long-term.
12. So ñātidhammo ca ayaṁ nidassito,
Petāna pūjā ca katā uḷārā;
balañca bhikkhūnamanuppadinnaṁ,
Tumhehi puññaṁ pasutaṁ anappaka” nti
.

Tugas kepada sanak-keluarga itu dan yang berikut ini telah ditunjukkan: para petā telah diberi penghormatan besar dan para bhikkhu telah diberi kekuatan; oleh anda sekalian, kebajikan yang telah dihasilkan adalah besar.The duty to the relatives and the following has been shown: great honor has been paid to the dead, and monks have been given strength; by you all, the merit produced is significant.  

Catatan: Diterjemahkan dari bahasa Pali ke bahasa Indonesia dan Inggris, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, Rohaniwan Buddha, Sasanadhaja Dharma Adhgapaka, anggota Magabudhi, dosen English for Buddhism STAB Nalanda (2014-2021)

  • Kebajikan-kebajikan lain yang dapat dijadikan pattidāna

Yang dijelaskan di atas adalah pattidāna yang berasal dari āmisa dāna (pemberian yang berupa materi). Hasil-hasil praktik abhaya dāna, Dhamma dāna, sīla dan bhāvana oleh kita juga dapat dijadikan pattidāna, bahkan dengan buah yang lebih lebat karena di antara tiga dasar perbuatan baik, āmisa dāna berperingkat di bawah abhaya dāna dan Dhamma dāna. Buah dari praktik sīla dan bhāvana bernilai lebih tinggi daripada buah praktik dāna.

Contoh: Kita sebaiknya melimpahkan buah dari praktik uposatha sīla (yang disebut sebagai aṭṭhasīla atau delapan sīla) kepada para leluhur, teman dan tetangga dekat yang mendiang dan makhluk lain yang memerlukannya.

Silakan juga baca:https://www.buddha-gotama.com/2023/06/17/sepuluh-tanya-jawab-umum-tentang-pattidana/

  • PENJELASAN CERITA TENTANG PETā DI LUAR DINDING

(Tirokuḍḍa-PETāvatthuvaṇṇā)

(Diterjemahkan dari Petāvatthu-aṭṭhakathā 5: Tirokuḍḍhapetāvatthuvaṇṇā bahasa Pali, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, ke bahasa Indonesia dan Inggris)

“Mereka berdiri di luar dinding-dinding.” Sang Guru Agung yang sedang berdiam di Rājagaha menjelaskan cerita tentang sejumlah besar petā ini. Inilah rinciannya:

Sembilan puluh dua kappa lalu, ada sebuah kota yang bernama Kāsipurī tempat berkuasanya seorang raja yang bernama Jayasena. Permaisurinya bernama Sīrimā dan di dalam rahimnya telah lahir Bodhisatta Phussa yang pada waktu yang semestinya mencapai Penerangan Sempurna (menjadi Buddha). Raja Jayasena menjadi posesif (tidak mau berbagi miliknya untuk dipakai bersama-sama) karena berpikir,”Putraku adalah orang yang telah melakukan Penglepasan Agung dan telah menjadi Buddha. Milikku sajalah Buddha itu, millikkulah Dhamma, milikkulah Saṅgha.” Akibatnya, sepanjang waktu dia sendirilah yang melayani Sang Bhagavā sehingga tidak memberi kesempatan kepada siapa pun.

Ketiga orang adik Sang Bhagavā dari ibu yang lain berpikir, “Para Buddha sesungguhnya lahir demi kesejahteraan dunia keseluruhan, tidak hanya demi keuntungan satu orang; tetapi, ayah kami tidak memberi kesempatan kepada orang lain. Jadi, bagaimana caranya agar kami mendapatkan kesempatan untuk melayani Sang Bhagavā dan Bhikkhu Saṅgha?” Lalu, muncul gagasan ini di pikiran mereka,” Mari kita lakukan suatu upaya!” Karena itu, mereka menjadikan seakan-akan ada gangguan di perbatasan kerajaan. Ketika sang raja mendengar tentang gangguan itu, dia mengirim ketiga orang putra itu untuk mendamaikan daerah perbatasan tersebut. Ketiga orang putra itu pergi dan melakukannya. Ketika mereka kembali ke istana, sang raja senang dan memberikan hadiah kepada mereka dengan berkata,”Ambil apa pun yang kalian inginkan.”Kami ingin melayani Sang Bhagavā,’ kata mereka. “Kalian boleh mengambil apa pun kecuali beliau,” jawab sang raja.”Kami tidak peduli dengan hal lain apa pun,” kata mereka. “Baiklah, tentukan satu batas waktu, lalu ambil beliau.” Mereka mohon untuk tujuh tahun. Sang raja tidak memberikan-Nya. Sehingga mereka mohon secara berturut-turut dan menurun: enam, lima, empat, tiga, dua tahun, lalu turun lagi menjadi selama tujuh, enam, lima, empat dan akhirnya tiga bulan  ketika sang raja berkata,” Ambil beliau!”

Mereka mendekati Sang Bhagavā dan berkata,”Bhante, kami ingin melayani Sang Bhagavā selama tiga bulan. Bhante, Sang Bhagavā, mohon terima kami selama masa tinggal tiga bulan di musim hujan (vassāvāsa).” Sang Bhagavā menyetujuinya (dengan berdiam diri). Lalu, ketiga orang itu mengirim surat kepada perwakilan mereka di daerah tempat Sang Bhagavā akan berdiam, yang berbunyi,” Sang Bhagavā akan dilayani oleh kami selama masa tinggal tiga bulan di musim hujan. Pertama-tama, bangun sebuah vihara, lalu adakan segala-galanya yang akan diperlukan untuk melayani Sang Bhagavā.” Perwakilan itu melapor ketika ia telah mengadakan segalanya.

Mereka berpakaian kuning dan bersama-sama dengan 2.500 orang pembantu pria mereka, membimbing Sang Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha ke daerah itu, lalu melayani mereka dengan penuh hormat, menyerahkan vihara itu kepada Sang Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha dan membantu mereka menghabiskan satu musim hujan di sana.

Bendahara mereka, yang merupakan putra seorang perumah-tangga dan telah menikah, memiliki keyakinan dan kesetiaan. Dengan ketekunan yang semestinya, bendahara itu memberikan barang-barang untuk keperluan persembahan dāna kepada Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha yang beliau pimpin. Perwakilan kerajaan di daerah itu menerima barang-barang itu dan bersama-sama dengan 11.000 orang dari daerah itu menyelenggarakan acara persembahan dāna dengan ketekunan yang semestinya kepada Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha.

Pada saat itu, ada sejumlah orang berpikiran jahat dan menghalangi, bahkan memakan sendiri dana makanan serta membakar ruang makan yang telah disiapkan.

Pada waktu yang semestinya, ketiga orang adik tiri Buddha Phussa, bendahara dan perwakilan kerajaan itu bersama-sama dengan para pembantu itu lahir kembali di surga demi surga sedangkan orang-orang yang berpikrian jahat itu lahir kembali di neraka demi neraka selama 92 kappa. Kemudian, pada bhaddakappa (kappa yang beruntung) ini, yaitu masa bumi saat ini, di jaman Buddha Kassapa (Buddha sebelum Buddha Gotama), orang-orang yang berpikiran jahat itu lahir kembali sebagai petā. Pada jaman itu, ketika orang-orang mempersembahkan dāna atas nama sanak-keluarga mereka yang merupakan petā, mereka melimpahkannya dengan berkata,”Semoga persembahan ini melimpah kepada sanak-keluarga kami!,” dan dengan seketika para petā itu mendapatkan kemuliaan. Pada saat itu para petā yang mantan orang-orang jahat itu mendekati Sang Buddha Kassapa dan bertanya,”Bagaimanakah caranya agar kami dapat memperoleh keberuntungan yang serupa itu?” Beliau berkata,” Anda sekalian tidak akan memperolehnya sekarang. Namun, di masa depan, akan ada seorang Sammasaṁbuddha yang bernama Gotama. Di jaman Sang Buddha Gotama itu akan ada seorang raja bernama Bimbisāra, yang merupakan sanak kalian 92 kappa yang lalu. Raja itu akan memberikan dāna kepada Sang Buddha Gotama dan mempersembahkan pattidāna (pemberian yang berupa kebajikan) kepada anda sekalian. Lalu, anda sekalian akan mendapatkan keberuntungan yang demikian.” Konon ketika Sang Buddha Kassapa mengucapkan perkataan itu, bagi para petā tersebut, ucapan itu terdengar seakan-akan beliau berkata bahwa mereka akan mendapatkan kemuliaan yang demikian hari esoknya.

Lalu, ketika satu jeda seorang Buddha telah berlalu dan Sang Buddha Gotama telah muncul di dunia ini, ketiga orang saudara tiri Sang Buddha Phussa berikut seribu orang lain, meninggal dari surga dan lahir kembali di sebuah marga brahmana di kerajaan Magadha. Pada waktu yang semestinya, mereka menjalani hidup tanpa rumah sebagai petāpa dan menjadi dikenal sebagai tiga orang petāpa berambut kusut dari Gayāsīsa. Perwakilan keluarga mereka di daearh tersebut menjadi Raja Bimbisāra dan bendahara mereka menjadi pedagang kaya-raya Visākha yang isterinya, bernama Dhammadinnā, adalah putri seorang pedagang kaya-raya lainnya sedangkan orang-orang lain dari kelompok mereka muncul muncul sebagai pengiring raja.

Setelah Sang Buddha Gotama muncul di dunia ini dan menghabiskan masa tujuh minggu sesudah Pencerahan Agung-Nya), beliau pergi ke Benares tempat beliau memutar Roda Dhamma untuk kali pertama, mengajar Lima Petāpa (Pañcavaggiya) (sehingga terbentuklah Bhikkhu Sagha yang kita kenal sampai saat ini), lalu tiga orang petāma berambut kusut (jatila; yang juga dikenal sebagai Kassapa Bersaudara) berikut 1.000 orang pengikut mereka.   Sesudah itu, beliau pergi ke Magadha (untuk memenuhi janji beliau kepada Raja b1 bahwa beliau akan datang ke sana sesudah mendapatkan obat untuk mengatasi usia tua, penyakit dan kematian, yaitu menjadi seorang Buddha). Di sana, pada hari yang sama, Raja Bimbisāra  menemui beliau dan beliau menegakkan Raja Bimbisāra pada sotāpatti-phala [yang menjadikan Raja Bimbisāra  seorang Sotapanna (Pemasuk Arus, atau Pemasuk Jalan Mulia Berunsur Delapan]. Kemudian, Raja Bimbisāra  mengundang  Sang Bhagavā dan para bhikkhu ke tempat tinggalnya di Rājagaha pada hari esoknya untuk menerima dāna makanan dan Sang Bhagavā menyetujui undangan itu.

Hari esoknya Sang Bhagavā memasuki Rājagaha bersama Sakka, Raja Dewa, yang menyamar sebagai pemuda dari kalangan brahmana dan berjalan di depan Sang Bhagavā sambil memuji beliau dengan stanza-stanza yang mulai dengan:

“Yang pikirannya terkendali berkumpul dengan sesamanya, yang terbebaskan berkumpul dengan sesamanya; Sang Bhagavā, yang cerah bagaikan permata emas, telah memasuki Rājagaha bersama-sama.”

Di rumah Raja Bimbisāra , Sang Bhagavā menerima mahādāna (dāna yang besar). Pada saat itu, para petā mengelilingi rumah itu karena berpikir “Sekarang sang raja akan melimpahkan dāna itu kepada kami.” Tetapi, ketika sang raja memberikan dāna itu, sang raja hanya berpikir tentang sebuah lokasi untuk dijadikan vihara Sang Bhagavā sehingga bertanya-tanya dalam pikirannya sendiri “Di manakah Sang Bhagavā sebaiknya tinggal?” Jadi, sang raja tidak melimpahkan buah dāna itu kepada siapa pun. Karena itu, para petā putus asa* dan pada malam harinya meraung-raung dengan amat sedih dan suara yang sangat menakutkan di sekitar rumah sang raja. Akibatnya sang raja menjadi gelisah dan pikirannya dipenuhi rasa takut dan tubuhnya gemetaran.

Begitu matahari terbit, sang raja menemui Sang Bhagavā dan menceritakan kejadian di atas, lalu bertanya “Apakah yang akan terjadi pada diri saya, Bhante?” Sang Bhagavā menjawab “Jangan takut, Maharaja, tidak satu pun bencana akan menimpa anda – anda akan aman-aman saja. Yang sebenarnya adalah para sanak-keluarga anda yang telah menjadi petā telah hidup berkeliling selama satu masa jeda penuh kemunculan seorang Buddha dengan harapan bahwa anda akan memberikan dāna kepada seorang Buddha dan melimpahkan buahnya (yaitu kebajikan yang berupa pemberian dāna itu) kepada mereka. Tetapi, ketika anda memberikan dāna kemarin, anda tidak melimpahkan buahnya kepada mereka sehingga mereka putus asa dan meraung-raung dengan amat sedih itu.” sang raja bertanya,”Bhante, akankah mereka menerimanya jika dāna diberikan sekarang?” “Ya, Maharaja.”Kalau begitu, mohon Bhante terima undangan saya untuk menerima dāna hari ini juga dan saya akan melimpahkan buahnya kepada mereka.” Sang Bhagavā menyetujuinya melalui sikap diam-Nya.

Sang raja kembali ke istananya dan menyuruh dāna yang besar disiapkan. Lalu, sang raja menyuruh waktu penerimaan dāna itu diumumkan kepada Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pergi ke istana sang raja berikut Bhikkhu Saṅgha dan duduk di kursi yang telah ditentukan. Para petā itu berpikir,” Hari ini kami mungkin mendapatkan sesuatu,” lalu pergi ke istana itu dan berdiri di luar dinding-dinding dan sebagainya. Sang Bhagavā menjadikan mereka semua terlihat oleh sang raja. Ketika sang raja mempersembahkan dāna air, sang raja pun melimpahkan buahnya dengan berkata,”Semoga dāna ini melimpah kepada sanak-keluarga saya!” Pada ketika itu juga kolam-kolam yang ditutupi (bunga) teratai dan bakung muncul untuk para petā itu. mereka mandi dan minum di dalamnya. Bersamaan dengan hilangnya penderitaan, kelelahan dan kehausan mereka, tubuh mereka menjadi berwarna emas. Sang raja mempersembahkan bubur beras dan makanan-makanan yang keras maupun lembut serta melimpahkan semua itu, lalu, pada saat itu juga bubur beras dan makanan surgawi yang keras maupun lembut muncul. Ketika mereka memakannya, indra-indra mereka bangkit kembali. Sang raja mempersembahkan pakaian dan tempat tinggal serta melimpahkan buahnya, lalu pakaian dan istana-istana surgawi, dengan aneka perlengkapan berikut dipan-dipan dan penutupnya serta sebagainya, muncul untuk mereka. Semua keberuntungan mereka diperlihatkan dengan nyata kepada sang raja sebagaimana  Sang Bhagavā memutuskannya. Ketika melihat semua itu, sang raja pun benar-benar bahagia.

Kemudian, setelah Sang Bhagavā menyelesaikan makanan beliau dan makan sekenyangnya, beliau menceritakan Tirokuḍḍhapetāvatthuvaṇṇā (Cerita tentang Petā di Luar Dinding) ini untuk menunjukkan penghargaan beliau.

Semoga bermanfaat.

Catatan: Diterjemahkan dari bahasa Pali ke bahasa Indonesia dan Inggris, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, Rohaniwan Buddha, Sasanadhaja Dharma Adhgapaka, anggota Magabudhi, dosen English for Buddhism STAB Nalanda (2014-2021)

Tjan
Tjanhttps://www.tjansietek.com
A senior Indonesian-English sworn translator, former licensed personal advisor and analyst in the Indonesian capital markets, former college lecturer in English for Buddhism, Tipitaka translator, senior member of the Indonesian Translators Association and Indonesian Therevadin Buddhist Council, recipient of the Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka award given by the Ministry of Religions of the Republic of Indonesia, Buddhist preacher under the same ministry

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Apakah ada yang bisa kami bantu?