Dhammapada Stanza No. 31
‘appamāda rato bhikkhu – pamāde bhayadassi vā
saṃyojanaṃ anuṃ-thūlaṃ – dahaṃ aggī’va gacchati’
Arti Bahasa Indonesia:
“Bhikkhu yang senang dengan kehati-hatian atau
melihat bahaya di dalam kelengahan
maju terus, bagaikan api membakar belenggu-belenggu,
yang kecil ataupun besar.”
Latar belakang
Di kota Sāvatthi, seorang bhikkhu mendatangi Sang Buddha dan mempelajari topik-topik untuk meditasi, lalu masuk ke dalam hutan. Keadaan sangat sulit bagi dirinya untuk meningkatkan mutu batinnya. Tetapi, ia tidak menanggalkan upayanya. Ia memutuskan akan mengunjungi Sang Buddha lagi. Di perjalanan, ia mengamati kebakaran hutan yang besar sekali. Ia merenungi pemusnaan yang disebabkan oleh kebakaran itu dan berpikir,” Saya juga seharusnya memusnakan belenggu-belenggu saṃsāra (siklus kehidupan dan kematian yang berulang-ulang) dan, kemudian, saya dapat bebas dari saṃsāra yang berbahaya ini. Pada saat itu, Sang Buddha, setelah mengetahui pikiran sang bhikkhu, membabarkan sebuah khotbah Dhamma kepada sang bhikkhu melalui pembabaran lewat gelombang cahaya. Kemudian, sang bhikkhu menjadi Arahat.
Penjelasan tentang sejumlah istilah bahasa Pali di stanza 31 ini
Mari kita bahas ari stanza Pali ini:
“Bhikkhu yang senang dengan kehati-hatian atau
melihat bahaya di dalam kelengahan
maju terus, bagaikan api membakar belenggu-belenggu dirinya,
yang kecil ataupun besar.”
Stanza ini menjelaskan belenggu-belenggu di kehidupan kita dalam saṃsāra. Karena itu, penting sekali bagi kita untuk mengerti sifat nasib kita. Tanpa memahami belenggu-belenggu itu, kita ada di dalam lingkaran saṃsāra yang berbahaya. Jika kita sedang di tangga kebatinan dan perlu memusnakan belenggu-belenggu proses saṃsāra, pertama-tama kita perlu memahami belenggu-belenggu itu dengan baik. Ada sepuluh belenggu (dasa sañyojana atau dasa saṁyojana) yang mengikat manusia ke roda saṃsāra.
“pamāde bhayadassi vā” berarti melihat bahaya kelahiran di neraka dan tempat-tempat penyiksaan seperti itu.
Kesepuluh belenggu itu adalah sebagai berikut:
- sakkāyadiṭṭhi – ajaran tentang roh, mitos tentang adanya aku, spekulasi tentang keabadian atau hal lain tentang keakuan seseorang;
- vicikiccā – kebingungan, ketidak-pastian, keraguan tentang Sang Buddha, Dhamma, Saņgha, Pañcasila, kelahiran kembali, kelahiran sebelumnya, karma dll;
- Sīlabbataparāmāsa – kemelekatan dengan aturan dan upacara belaka, kegemaran dan khayalan tentang upacara yang tidak ilmiah dan upcara yang membuta;
- Kāmacchanda – kegembiraan dengan kesenangan-kesenangan indrawi;
- Vyāpāda – niat jahat, keinginan untuk melukai, melakukan perusakan
- Rūparāga – nafsu rendah untuk mendapatkan kelahiran kembali
- Arūparāga – nafsur rendah untuk mendapatkan kelahiran kembali di alam-alam tanpa fisik;
- Māna – kegan, kejumawaan, keangkuhan
- Uddhacca – kebingungan yang aneh, pengimbangan secara berlebihan, ketersinggungan, ketergesa-gesaan
- Avijjā – kebodohan batin, yaitu akar kejahatan
Kesepuluh belenggu itu dijadikan dua kelompok, yaitu:
- Anuṁ sañyojana atau anuṁ saṁyojana – belenggu halus, yaitu lima belenggu kedua
- Thūlaṃ sañyojanas atau thūlaṁ saṁyojana – belenggu besar, yaitu lima belenggu pertama
Catatan: Latar belakang dan penjelasan ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof. Bhikkhu Seevali, Ph.D, dan stanza Pali-nya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, www.tjansietek.com