Dhammapada Stanza No. 33
‘Phandanaṃ capalaṃ cittaṃ – durakkhaṃ dunnivārayaṃ
ujuṃ karoti mēdhāvī – usukāro’va tējanaṃ’
Terjemahan Indonesia-nya:
Pikiran yang labil, berubah-ubah, sulit dijaga (dari objek-objek indra), sulit dikendalikan, orang bijak luruskan, bagaikan pembuat panah meluruskan anak panahnya.
Latar belakang:
Sang Buddha membabarkan ceramah Dhamma ini ketika beliau sedang berdiam di gunung Cāliya kepada Bhikkhu Mēghiya, pelayan beliau pada saat itu. Ada sebuah hutan mangga di tepi Sungai Kimkālā. Hutan itu bagus untuk meditasi. YM Mēghiya minta ijin dari Sang Buddha untuk pergi ke hutan itu untuk bermeditasi. Walaupun Sang Buddha telah menolaknya dua kali, pada kali ketiga Sang Buddha memberikan ijin. YM Mēghiya pergi ke hutan, tetapi tidak mampu mengendalikan pikiran beliau dan berbagai macam perasaan indrawi muncul di pikiran beliau. Beliau gagal dalam upaya beliau dan kembali kepada Sang Buddha serta menjelaskan apa yang telah terjadi ke pikiran beliau. Pada saat itulah Sang Buddha memberikan ceramah tentang isi stanza ini.
Penjelasan:
Apa arti perkataan ” Phandanaṃ capalaṃ cittaṃ?”Artinya adalah pikiran kita selalu bergetar, gemetar dan labil. Ia berubah-ubah sesuai dengan berbagai macam objek yang muncul ke mata kita dan organ-organ indrawi yang lain. Sulit menjinakkannya walaupun sekejap, mirip dengan seorang bayi yang tidak bisa diam dalam satu posisi walaupun sekejap. Pikiran kita berlari ke berbagai macam objek. Itulah sifat pikiran. Pikiran yang tidak dikendalikan (capalaṃ cittaṃ) selalu mengejar kesenangan indrawi dan tidak dapat menjauhkan dirinya dari objek indrawi. Pikiran sangat sulit dijaga karena ia mirip dengan seekor lembu yang makan jagung atau tanaman padi yang sedang tumbuh (kiṭṭhakhādaka gono viya).
Di stanza ini, dunnivārayaṃ berarti bahwa sulit membersihkan dan selalu cenderung memperhatikan objek-objek yang tidak umum atau pudendum muliebre (visabhāgha ārammana). Kita perlu membersihkan dan menyegarkan pikiran kita, tetapi hal itu adalah tugas yang sangat sulit karena pikiran kita selalu mencari objek yang tidak umum dan berbeda-beda.
‘ujuṃ karoti mēdhāvī’ –artinya adalah orang bijak (mēdhāvī) meluruskan pikirannya yang bergetar-getar, bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panahnya. Walaupun tinggal di hutan, orang bijak melakukan seperangkat praktik yang menghasilkan keadaan atau sesuai dengan sebuah dhuta, yaitu menjadi seorang yang cermat sekali atau terhormat. Ia (dhuta) menghancurkan kotoran-kotoran batinnya dengan memakai pikiran yang yakin atau penuh keyakinan. Ia memperkuat meditasi ketenangan (samatha bhāvanā) dan vipassana bhāvanā (meditasi pandangan terang atau pandangan mendalam) untuk memperkuat ketenangan dan mawas diri. Orang-orang bijak meluruskan pikiran mereka dengan memakai kekuatan pikiran yang telah diperkuat atau dimajukan. Dalam konteks agama Buddha, kekuatan itu dianggap sebagai daya yang paling besar, energi dan tenaga yang tertinggi di dunia. Pikiran dapat diperkuat atau dimajukan secara sekuler maupun spiritual.
Pikiran sekuler yang telah diperkuat atau dimajukan: pikiran tersebut mampu menciptakan atau menemukan banyak benda yang baru, misalnya komputer, pesawat ruang angkasa ulang-alik, senjata nuklir.
Pikiran spiritual yang telah diperkuat atau dimajukan: pikiran tersebut mampu memahami sifat sejati manusia, alam raya dan semua makhluk lain serta empat kebenaran mulia. Ia berfokus pada kesejahteraan semua makhluk dan akan menghasilkan tindakan-tindakan yang welas-asih, produktif dan besar.
bhāvanā berarti penumbuh-kembangan pikiran seseorang, pemerkuatan atau pemajuan pikiran secara spiritual, pemerkuatan atau pemajuan pikiran melalui pikiran, perbuatan dan perasaan yang bajik. Hal itu benar-benar merupakan salah satu kekuatan besar pikiran (bhāvanā bala). Hal itu juga merupakan salah satu kegiuran atau kesenangan dengan penumbuh-kembangan diri (bhāvanārāma) bagi orang-orang bijak. Pikiran yang telah ditumbuh-kembangkan dengan mudah melihat sifat sejati dunia ini, manusia dan hal-hal lain, sifat kehidupan samsāra yang tidak dapat diakhiri, yaitu siklus terus-menerus kelahiran dan kematian semua makhluk secara tiada henti.
Catatan: Latar belakang dan penjelasan ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof. Bhikkhu Seevali, Ph.D, dan stanza Pali-nya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, www.tjansietek.com