Dhammapada Stanza No. 21 ‘Appamādō* amatapadaṃ – pamādo maccuno padaṃ
Appamattā na miyanti – ye pamattā yathā matā’
Kehati-hatian* adalah jalan menuju Nibbāna, kelengahan adalah jalan menuju kematian; orang yang hati-hati tidak mati, tetapi orang yang lengah bagaikan telah mati.
*appamādo*: kesadaran dan perhatian sepanjang waktu, atau sati sepanjang waktu
Latar belakang: Māgandiyā adalah salah seorang putri Brahmana Māgandiya. Ketika Sang Buddha menolak tawaran sang brahmana untuk menikahi Māgandiya, kedua orangtua Māgandiyā masuk ke Sańgha Bhikkhu dan Sańgha Bhikkhuni sehingga menjadikan Māgandiyā mengurus pamannya. Sang paman membawanya ke hadapan Udena, raja Kosambi, yang mengangkatnya sebagai isteri utamanya. Sang raja memberinya 500 orang dayang. Māgandiyā marah kepada Sang Buddha karena menyebutnya sebagai “bejana kotoran” dan, ketika Sang Buddha datang ke Kosambi, Māgandiyā merencanakan pembalasan dendamnya. Pada suatu kali Māgandiyā menyewa seorang seorang budak untuk merncerca Sang Buddha di jalan-jalan. Māgandiyā juga berkomplot dengan pamannya terhadap Sāmawati, isteri lain sang raja. Mereka menyuruh semua tiang di rumah Sāmawati,dibungkan dalam kain, direndam ke minyak dan, ketika Sāmawati dan para pengiring wanitanya, rumahnya dibakar. Setelah mengetahui kejahatan Māgandiyā, sang raja menyiksa dan membunuh Māgandiyā dan jug sanak-keluarganya.
Baris-baris stanza Pali ini menjelaskan sebuah hal sangat penting yang terkait dengan hidup seseorang. Jika kita memperhatikan arti ketiga baris stanza ini, ketiganya beriring bersamaan. Kesungguhan atau kerajinan adalah jalan menuju Nibbāna; kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang bersungguh-sungguh tidak tidak mati, tetapi orang yang lengah bagaikan sudah mati.
Ada suatu kebenaran yang perlu kita ketahui, yaitu “kesungguhan adalah jalan menuju Nibbāna. Kelengahan atau kealpaan adalah jalan menuju kematian.” Setelah mengerti kebenaran itu, beberapa orang mempraktikkan doktrin-doktrin tertentu untuk memajukan kesungguhan. Mereka sudah maju dalam kesungguhan dan bahagia dalam kesungguhan. Mereka bahagia mengetahui para Orang Suci atau orang-orang yang luhur. Orang-orang yang bijaksana, mantap dan selalu memiliki daya-daya yang kuat, mencapai Nibbāna. Itulah arti ketiga baris stanza ini.
Arti “kesungguhan atau ketekunan:” ketekunan adalah tidak adanya kesembronoan, suka-ria, atau kelengahan. Ketekunan adalah salah satu sifat pikiran yang sangat maju. Singkatnya, ketekunan adalah salah satu ajaran yang sepenuhnya menentang kelengahan. Sekali lagi, ketekunan adalah kehati-hatian dalam perbuatan dan pikiran yang baik atau menguntungkan, yaitu perbuatan dan pikiran yang kusala serta kebajikan, perbuatan yang bajik atau pemerkuatan energi-energi kebajikan. Dengan perkataan lain, kehati-hatianlah yang memperkuat perbuatan yang bersih. Karena itu, dikatakan bahwa semua kebajikan dinyatakan berakar pada kesungguhan atau appamāda. (= menurut Sang Buddha, “Yē kēci kusalā dhammā sabbe tē appamādamūlakā,’ yang artinya adalah “keadaan-keadaan batin baik yang mana pun, semuanya berakar pada kesungguhan”).
Ada satu lagi ucapan Sang Buddha, yaitu ‘Ēko dhammo bahūpakāro, katamo ekadhammo appamādo kusalesu dhammesu’ Apa arti formula dalam bahasa Pali itu? perantara pendukung yang utama untuk semua perbuatan dan pikiran yang kusala adalah appamāda or ketekunan.
Dalam hal ini, perbuatan yang kusala (atau perbuatan yang menguntungkan adalah: menjalani sīla, pengekangan organ-organ indrawi, tahu kecukupan dalam makanan, dan penerapan kewaspaan atau keterjagaan. Setiap orang dapat memperkuat atau meningkatkan kebajikan-kebajikan dan perbuatan yang kusala dengan bantuan appamāda. Semua kebajikan dan perbuatan yang kusala didukung atau dilindungi oleh appamāda. Itulah jalan satu-satunya. Tidak ada satu pun jalan lain.
Catatan: Latar belakang dan penjelasan ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof. Bhikkhu Seevali, Ph.D, dan stanza Pali-nya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, www.tjansietek.com