Site icon Buddha-Gotama

Terjemahan baru Dhammapada 1 plus kosakata bahasa Pali & Indonesia

manopubbaṅgamā dhammā

manoseṭṭhā manomayā

manasā ce paduṭṭhena

bhāsati vā karoti vā

tato nadukkhamanveti

cakkaṁ va vahato padaṁ.

Terjemahan Bahasa Indonesia

Versi 1:

Keadaan batin* diarahkan oleh pikiran,** dipimpin oleh pikiran, dibentuk oleh pikiran.***

Jika seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, (maka) penderitaan**** mengikutinya, bagaikan roda kereta mengikuti kaki hewan penariknya.

Versi 2:

Diarahkan oleh pikiranlah** keadaan batin,*

dipimpin oleh pikiran, dibentuk oleh pikiran.***

Jika seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran jahat,

(maka) penderitaan**** mengikutinya,

bagaikan roda kereta mengikuti kaki hewan penariknya.

 * cetasika (vedanā, saññā & saṅkhāra) (Dhp. A., pp. 8 & 13; Müller & Fausböll, 1881, 2011:54)

**(a) (arti kias) diarahkan oleh pikiran atau dikuasai oleh pikiran (Davids & Stede 1921-1925/2005, Part VI, p.145),(b) (arti harfiah) pikiran adalah pendahulu atau pelopor (Narada & Pereira, 1940:1; (c) (arti harfiah) pikiran mendahului (Gogerly,1840/1908:250)

***(a)(i) Di versi-versi yang paralel, bacaan ini selalu tertulis sebagai manojavā, yang berarti didorong (atau digerakkan) oleh pikiran, yang terlihat lebih sesuai dengan ajaran awal (Ānandajoti, www.ancient-buddhist-texts.net); (b)Di antara berbagai versi dalam bahasa-bahasa lain, Dhammapada bahasa Pali adalah satu-satunya yang memakai perkataan ini. Semua versi Dhammapada dalam bahasa lain memakai perkataan “didorong oleh pikiran” (manojavā di Dharmapada Patna). Bahkan Fa Jyu Jing, yaitu Dharmapada yang terkait paling erat dengan versi Pali, menyebutkan sebuah kata yang berarti “didorong oleh pikiran” (Fronsdal, 2011:96-97, Note 5).

****penderitaan batin atau mental, ketidak-beruntungan, ketidak-puasan, akibat yang sangat buruk dsb serta kelahiran kembali di alam-alam derita, atau di golongan rendah masyarakat jika lahir kembali di alam manusia (Tin, 1996:2) 

Kosakata:

manopubbaṅgamā: (bentuk nominatif/subjek maskulin jamak; tunggal: manopubbaṅgama) (arti kiasan) diarahkan atau dikuasai oleh pikiran, memiliki pikiran sebagai pengarah atau ketua, kepala; pikiran sebagai pelopor, pendahulu, pemimpin, pemuka

dhammā: (bentuk nom. mask. jamak; tunggal: dhamma) keadaan batin; cetasika (vedanā, sañña & saṅkhāra)

manoseṭṭhā: (bentuk nom. jamak; tunggal: manoseṭṭha) (siapa atau apa yang) dipimpin oleh pikiran, pikiran adalah pemimpin atau pemuka mereka

manomayā: (bentuk nom. jamak; tunggal: manomaya) dihasilkan atau dibuat oleh pikiran

manasā: (bentuk instrumentif/alat/cara dari  kata benda manas ‘pikiran’) oleh atau dengan pikiran

ce: jika

paduṭṭhena: bentuk inst. dari paduṭṭha ‘jahat, sangat buruk’

manasā paduṭṭhena: dengan pikiran jahat atau sangat buruk

bhāsati: (dia, seseorang) berbicara; (b) bentuk kata kerja aktif saat sekarang (present) untuk orang ketiga tunggal, yang dibentuk dari akar kata bhās ‘berbicara’ + -a + -ti, akhiran yang secara umum menunjukkan bentuk kata kerja aktif waktu sekarang (present) yang bersifat melaporkan atau mengumumkan (indikatif) untuk orang ketiga tunggal (dia, seseorang)

: (kata penghubung) atau; bila diulangi: = entah…atau…

karoti: (dia; seseorang) berbuat, melakukan, membuat; (b) bentuk kata kerja aktif saat sekarang (present) untuk orang ketiga tunggal,  yang dibentuk dari akar kata kar ‘berbuat, melakukan, membuat’ + -o + -ti, akhiran yang secara umum menunjukkan bentuk kata kerja aktif waktu sekarang (present) yang bersifat melaporkan atau mengumumkan (indikatif) untuk orang ketiga tunggal (dia, seseorang)

tato: (a) karena itu, maka, karena ini, sebab itu, sesudah itu, dari situ, dari sana; (b) bentuk tunggal ablatif (bentuk atau kasus kata benda atau kata ganti yang menunjukkan asal-usul, sebab, alasan, atau perpisahan, pelaku, alat, atau tempat) dari bentuk dasar kata ganti penghubung ta ‘itu, ini,’ tetapi di stanza ini digunakan sebagai adverba/kata keterangan

naṁ: (a) dia (laki-laki), orang (laki-laki) itu, yang (satu) itu; (b) seseorang atau sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya; (c) bentuk akusatif maskulin tunggal dari bentuk dasar kata ganti penunjuk   ta ‘Dia, ini, itu’

dukkhamanveti: (a) penderitaan mengikuti; (b) perpaduan bunyi yang enak didengar, atau sandhi, dari (kata benda netral) dukkha ‘penderitaan’ + – (akhiran yang menunjukkan bentuk nom. dan akusatif tunggal kata benda netral dan juga bentuk akusatif tunggal kata benda mask.) + anveti ‘mengikuti’

cakkaṁ: (a) roda; (b) berasal dari cakka (kata benda netral)  ‘roda’ + -ṁ, akhiran yang menunjukkan bentuk nom. dan akusatif tunggal kata benda netral dan juga bentuk akusatif tunggal kata benda mask.

va: (kata penghubung) seperti

vahato: (bentuk genitif atau kepemilikan mask. tunggal)  pembawa, lembu jantan, atau pengangkut

padaṁ: (a) kaki; (b) dibentuk dari kata pada ‘kaki’ + -ṁ, akhiran yang menunjukkan bentuk nom. dan akusatif tunggal kata benda netral dan juga bentuk akusatif tunggal kata benda mask.

Diterjemahkan oleh Tjan Sie Tek, M.Sc.

Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka

Penerjemah Tersumpah

www.tjansietek.com

Tata Bahasa Pali Tingkat Lanjut:

Stanza 1 & 2, Bab 1 Dhammapada

  1. mano: (1) aspek atau bagian intelektual viññana (atau kesadaran); kasus/bentuk nominatif/subjek; bentuk pokoknya adalah manas (adj.) (Davids & Stede 1921-1925/2005, Bagian VI, hal. 141); (2) pikiran, daya nalar atau intelektual seseorang (Kamus Oxford Bahasa Inggris Amerika); (3) ‘Apa yang memiliki karakteristik mengetahui sebaiknya dipahami, secara bersama-sama, sebagai gugus kesadaran’ telah dikatakan di atas. Dan apa yang memiliki karakteristik mengetahui (vijᾱnana)? Kesadaran (viññana); sesuai dengan yang dikatakan, ‘teman, kesadaran mengetahui, itulah sebabnya “kesadaran” disebut demikian (M.i.292). Kata-kata viññana (kesadaran), citta (pikiran, kesadaran), dan mano (pikiran) memiliki arti yang sama (Vsud: XIV.84); (f) … Ia mengukur (muṇati), karena itu, ia adalah pikiran (mano). (ibid. XV.3); (4) … karena mata dan objek yang terlihat, kesadaran mata muncul, …. karena pikiran dan objek pikiran, kesadaran pikiran muncul ‘ (M.i.III) (ibid.XIV.12); (5) 68 jenis unsur kesadaran pikiran adalah ‘unsur kesadaran pikiran (atau mano-viññana)” (ibid. XVII.120); (6) mano, yaitu pikiran, di kitab Abhidhamma digunakan sebagai sinonim viññana dan citta (keadaan kesadaran, pikiran) (Nyānatiloka & Nyānaponika, 1980:183); (g) Di daftar tradisional Buddhisme tentang enam indra dan objek mereka masing-masing (āyatana), mano merujuk ke indra keenam, kesadaran kognitif (yang mengetahui) (Fronsdal, 2011:96); (7)(a) mano & mana(-s) (nt.) (lihat Catatan 4 di bawah: manasā): seperti semua kata benda lain yang berasal dari bentuk-bentuk pokok lama dengan akhiran -s, secara sebagian mano telah mempertahankan bentuk-bentuk -s (bandingkan dengan cetas > ceto) & sebagian lagi mengikuti deklinasi* kata benda dengan akhiran -a. Bentuk mano ditemukan dalam semua kata majemuk sebagai mano-.

Dari bentuk pokok manas, dibentuk adjektiva manasa dan turunannya mānasa & manasa …. (Davids & Stede, idem., hal.144); (b) Namun, Anuruddha (2004:745) menyebutkan beberapa ungkapan idiomatik tempat mano digunakan sebagai satu kata: yaṁ cittaṁ taṁ mano, yaṁ mano taṁ cittaṁ ‘Yang disebut sebagai citta adalah mano, yang disebut mano adalah citta; contoh lain: mano nābhiramissati ‘Pikiran tidak (atau tidak akan) memiliki minat khusus;’ (ibid., hal. 696): mano patisaraṇaṁ, mano ca nesaṁ gocaravisāyaṁ paccanubhoti ‘pikiran adalah pelindung dan pikiran menikmati ranah mereka;’ mano vuṭṭhahissati ‘(pikiran saya) akan bangkit (dari semua bentuk eksistensi);’ (c) Perniola (1997:39, No.33) menulis “Ada beberapa bentuk pokok kata dengan akhiran -s yang bersifat netral dan hanya dideklinasikan menjadi bentuk tunggal. Bentuk pokok kata seperti itu adalah: ayas ‘besi,’ uras ‘dada,’ cetas ‘pikiran,’ chandas ‘metrum,’ jaras ‘usia tua,’ tamas ‘kegelapan,’ tapas ‘panas,’ tejas ‘keindahan,’ manas ‘pikiran,’ yasas ‘ketenaran,’ vacas ‘kata,’ vayas ‘usia,’ siras ‘kepala,’ dll.”

Nom., vokatif (sebagai kata sapaan), akusatif (objek langsung/penderita)  mano

Instrumen (sebagai alat atau cara), ablatif (asal, untuk, atas nama) manasā ‘dengan pikiran’

Genitif (kepemilikan) manaso ‘milik pikiran’

Lokatif (sebagai tempat) manasi ‘di pikiran’

*pengubahan bentuk kata benda/nomina, kata ganti/pronomina dan kata sifat/ajektiva sesuai dengan kasus, jumlah dan jenis kelamin

(i) Bentuk-bentuk pokok ini sering dideklinasikan seperti bentuk bentuk pokok kata benda netral dengan akhiran -a: manaṁ, manena, manasmā, manassa, manasmiṁ, manāni, manehi, manānaṁ, manesu; (ii) Bentuk-bentuk komparatif (lebih …) kata sifat dengan akhiran -yas: seyyas ‘lebih baik,’ pāpiyas ‘lebih buruk/jahat,’ bhiyyas ‘lebih baik,’ dll memiliki bentuk nominatif, vokatif, dan akusatif dengan akhiran -o: seyyo, papiyo, bhiyyo. Dalam kasus/bentuk yang lain, mereka dideklinasikan seperti bentuk-bentuk pokok dengan akhiran -a. Kata sifat bhiyyo memiliki kasus instrumen bhyuyyena di dalam kata yebhuyyena ‘hampir semuanya, sebagian besar;’ (iii) Ada kata benda maskulin dengan akhiran -as: candimas ‘bulan’ yang memiliki chandimā dalam bentuk nominatif tunggal. Untuk selebihnya, kata itu dideklinasikan seperti puriso: candimaṁ, candimena, candimassa, dll;

 (8) Akhiran -as dan -ar menjadi -o: tato ‘dari situ/sana’ = Skt tatas; pāto ‘pagi-pagi’ = Skt prātar. Kedua bentuk puno dan puna ‘lagi’ = Skt punar juga ditemukan. Dalam infleksi,* sering muncul -a untuk Skt -as (Kaccāyana §§ 157, 158.II) …. [Geiger & Norman, 2005, §66, hal.58(a)];

*pengubahan bentuk kata agar sesuai dengan tense (bentuk kata kerja yang sesuai dengan jenis kelamin, waktu pelaporan/kejadian dan mood), jenis kelamin, jumlah, kasus, mood/perasaan, orang, kata kerja (verba)

(9)(1) Warder (2014:205) menulis bahwa bentuk-bentuk pokok dalam -as umumnya muncul sebagai -o di dalam kata majemuk, misalnya manomayena kāyena ‘dengan tubuh buatan pikiran,’ manoviññeyya dhammā ‘hal-hal yang perlu diketahui oleh pikiran’ (Anurudha, 2004:696), tetapi sebagai -a di akhir kata majemuk, misalnya pasanna-mana (juga pasanna-manas) ‘pikiran yang termurnikan, percaya atau yakin (pada ajaran Sang Buddha) (Andersen, 1907/1996:170-171); pikiran yang senang;’

(9)(2) Davids & Stede (idem., Bagian VI, hal.144-146) memberikan contoh kedua jenis kata majemuk tersebut (mano sebelum konsonan dan man sebelum vokal): (9)(2)(a)(i) mana-: manaṅgaṇa ‘lingkup pemikiran;’ (ii) manāvajjana ‘pengetahuan yang bersifat conton;’ (iii) manindriya ‘kemampuan/kecakapan pikiran, kategori pikiran, kemampuan/kecakapan penciptaan gagasan atau konsep;’ (iv) manokamma ‘pekerjaan pikiran, tindakan batin,’ terkait dengan kāyakamma (tindakan lewat tubuh) dan vacīmana (tindakan lewat ucapan); (v) manojava ‘cepat seperti pikiran;’ (vi) manodaṇḍa ‘hukuman pikiran;’ (vii) manoduccarita ‘perbuatan imoral oleh pikiran atau pemikiran-pemikiran Dh. 233; Nd1 38; Pug. 60. –dosa ‘noda pikiran;’ (viii) manodvāra ‘pintu pikiran, ambang kesadaran;’ (ix) manodhātu ‘unsur pengertian, kemampuan/kecakapan penciptaan gagasan/konsep;’ (x) manopadosa ‘kemarahan dalam pikiran, niat jahat;’ (xi) manopadosika (adj.) tercemar dalam pikiran (oleh iri dan niat jahat), (kata benda) dari kelas dewa tertentu; manopasāda ‘ketenangan pikiran, perasaan setia (terhadap Sang Buddha);’ (xii) manobhāvanīya ‘pemerkuatan/pemajuan pikiran secara benar, tenang diri;’ (xiii) manomaya ‘terbuat dari pikiran, terdiri dari pikiran, yaitu dibentuk oleh kekuatan gaib pikiran, dibentuk dengan gaib.’ — Terkadang sebuah tubuh yang terdiri dari zat ini dapat diciptakan oleh kesucian atau ilmu yang hebat; manusia atau dewa dapat memiliki kekuatan itu; (xiv) manoratha ‘objek yang diinginkan’ (secara harfiah ‘apa yang menyenangkan pikiran’); (xvi) manaṁ pūreti ‘memenuhi keinginan seseorang;’ “pemenuh keinginan” adalah nama Kitab Penjelasan tentang Aṅguttara Nikāya; (xvii) manorama ‘menyenangkan pikiran, indah, menyenangkan;’ (xvii) manoviññāṇa ‘kesadaran pikiran, rasionalitas;’

(9)(2)(b) perkataan atau penggal kalimat: (i) manaṁ uppādeti ‘(dia/dia/seseorang) membuat keputusan, memutuskan;’ (ii) manaṁ karoti ‘(dia/dia/seseorang) memusatkan pikiran seseorang pada, memikirkan, menemukan kesenangan atau kebahagiaan, membuat keputusan;’ (iii) manaṁ gaṁhāti ‘(dia/seseorang) mengambil pikiran, menyenangkan, mendapatkan persetujuan; (iv) orang ke-1 jamak (kami, kita) manokaroma; (v) bentuk kata kerja perintah (imperatif) untuk orang ke-2 tunggal manokarohi ‘(kamu) perhatikan,’ sering di dalam ucapan “suṇāhi sādhukaṁ manokarohi ‘(kamu) dengarkan dan perhatikan dengan baik;

(9)(2)(c) mano: (i) manokusalatā (atau manokosalla) ‘kecakapan dalam perhatian; (ii) manovidhāna ‘pengaturan perhatian;’ (iii) manovidhi ‘aturan atau bentuk perhatian;’ Vism. 278 (berunsur delapan, yaitu, gaṇanā, anubandhanā, phusanā, ṭhapanā, sallakhaṇā, vivaṭṭanā, pārisuddhi, tesañ ca paṭipassanā ti);

 (9)(2)(d) -mana: (i) dhamm-uddhacca-viggahitamana (baca °mano untuk °manā; (ii) saṁkiliṭṭha-manā narā ‘pria-pria yang berpikiran ternoda atau kotor;’ (iii) atttamana ‘senang;’ (iv) gedhitamana ‘serakah;’ (v) dummana ‘tertekan dalam pikiran, sedih atau sakit di dalam batin; berlawanan dengan sumana ‘gembira, bahagia (=somanassajāta); (vi) pītiman ‘gembira atau bahagia; (yang dijelaskan oleh tuṭṭha-mano, haṭṭha-mano, attamano dll), oleh santuṭṭha-citto di SnA 512); (vii) manasi-karoti (dll) ‘memusatkan pikiran dengan tekun, mencampakan dalam pikiran, memasukkan ke dalam batin/hati, merenung, memikirkan, mempertimbangkan, mengenali;

(9)(3) Trenckner dkk. (1924:132) memberikan contoh-contoh yang berikut ini sehingga membedakan arti mana(-s) dan citta: (i) (nom.) adhiṭṭhāna-mana(s) ‘pikiran yang menerapkan (kekuatan) adhiṭṭhāna;’ Vism 405,13 (instr. °-mānena); (ii) (nom.) adhiṭṭhāna-citta ‘tindakan batin (sesaat, sejenak) adhiṭṭhāna; Vism 387,4-12; 405,a.

*mānena: yang ditunjukkan oleh Trenckner et. al. (1917:132).

(10) Kaccāyana (49,44, terjemahan Thitzana) memberikan beberapa kata majemuk dengan mano tempat o akhir berubah menjadi u:

(i) mano + aññaṁ > manuññaṁ ‘dengan menyenangkan, dengan penuh kegembiraan’

 (ii) mano + assa [kasus optatif asmi untuk orang ke-3 tunggal (lihat atthi)] > manussa ‘manusia’

  1. manopubbaṅgamā: (a) (i) sebuah bahubbīhi tappurisa samāsa [Perniola, 1915/1997:165(c)], perpaduan kata melalui pemendekan manas + pubbaṅgamā, dengan manas mengubah akhiran -as menjadi -o; namun, dalam banyak kasus, bentuk pokok itu telah berubah menjadi bentuk pokok yang tematis: āpas-maya > āpomaya ‘terbuat dari air’ [Duroiselle, 1915/1997, hal. 159(i)]; (ii) Duroiselle (ibid., hal. 12, No.45) & Kaccāyana (idem., 37,57) juga menulis bahwa sebuah niggahīta kadang-kadang dapat disisipkan sebelum huruf vokal atau konsonan: ava + siro = avaṁsiro ‘dengan kepala ke bawah;’ manopubba + gamā = manopubbaṅgamā; cakkhu + udapadi = cakkhuṁ udapadi ‘mata (kebijaksanaan) muncul;’ yāva c’ idha = yavañc’ idha ‘dan… hingga…’ di kalimat “yavañc’ idha bhikkhave purimaṁ jātiṁ sarami” ‘dan, wahai para bhikkhu, saya ingat sampai kelahiran sebelumnya.’

Contoh-contoh kebalikannya menunjukkan tidak satu pun niggahīta disisipkan sebelum huruf vokal atau konsonan:

(b) kasus nominatif manopubbaṅgama untuk orang ke-3 jamak, artinya (i) (secara harfiah) didahului oleh pikiran, atau (seseorang yang memiliki) pikiran sebagai pelopor; (ii) (secara kias) diarahkan atau dikuasai oleh pikiran (Davids & Stede 1921-1925/2005, Bagian VI, hal. 145), (iii) (secara harfiah) pikiran mendahului (Gogerly,1840/1908:250)

(c) manopubbaṅgamā: (1) pakatisandhi, atau sandhi alami; contoh-contoh lain tentang pakatisandhi: pamādo’maccuno padaṁ; tiṇṇo’pāraṅgato ahu(Kaccāyana, § 23, idem.);

(2) manopubbaṅgamā: (1) (arti kias) diarahkan atau dikuasai oleh pikiran atau (2) memiliki pikiran sebagai pengarah atau tuan, berdasarkan analogi dari susunan (i) X-pakata ‘dibuat atau terbuat dari X, (ii) X-ja ‘lahir dari X, (iii) X-nidāna ‘memiliki X sebagai sumber asal-usul,’ (iv) X-vipāka ‘memiliki X sebagai hasil atau buah,’ (v) X-samudaya ‘memiliki X sebagai asal-usul, atau timbul dari X, atau asal-usul dari X’ (Gair & Karunatillake, 2014:28), tetapi (vi) X-gamin (fem. gaminī) ‘menuju X, pergi ke X,’ (vii) x-jāta ‘telah menjadi X’ (idem, hal. 160), (viii) X-deva ‘memiliki X sebagai dewa, sangat menghormati X’ (idem., hal. 161); (ix) (Warder, 2014:205) kata majemuk bahubbīhi: attasaraṇa-X, misalnya: attasaraṇa bhikkhu ‘seorang bhikkhu yang memiliki dirinya sebagai tempat perlindungan, atau bhikkhu yang mandiri,’ attasaraṇa purisa ‘seseorang yang memiliki dirinya sebagai tempat perlindungan, atau seseorang yang mandiri,’ evaṁgatikā diṭṭhiṭṭhana ‘sebuah kasus atau kelas pendapat yang  memiliki takdir seperti itu, yang karena memegangnya mengarahkan seseorang ke takdir tertentu;’

Catatan: Sebagian besar ahli bahasa Pali menerjemahkan manopubbaṅgamā sebagai “pikiran adalah pelopor” atau “didahului oleh pikiran,” misalnya Narada & Pereira (1940:1), atau “didahului oleh pikiran,” misalnya Sarao (2009:1 & 3). Paliwahadana (Kitab Penjelasan Dhammapada 1-2, tanpa tanggal terbit) menulis bahwa sebuah bagian prosa pendek dalam Anguttara Nikaya i.11 juga mengungkapkan gagasan tentang pikiran yang “mendahului” keadaan batin itu. YM Buddhaghosa memberikan penjelasan tentang hal itu di Kitab Penjelasan Anguttara-nya. Di sana beliau berkata bahwa gagasan bahwa pikiran mendahului dhammā seharusnya tidak dianggap secara harfiah. Tidak ada jeda waktu antara persepsi dan niat; mereka muncul bersamaan dan sekaligus. Setelah mengatakan itu, beliau melangkah lebih jauh dan memberikan saran tentang bagaimana cara menafsirkan perkataan manopubbaṅgamā dhammā di stanza Dhammapada: perkataan itu sebaiknya ditafsirkan sebagaimana beliau menafsirkan bagian A i. 11 tersebut. Beliau bahkan memberikan petunjuk bahwa melakukan yang sebaliknya berarti lebih mengikuti tulisannya daripada semangatnya. Kritikan yang keras!

(3) Thitzana (2018:38) menulis bahwa ada empat jenis sandhi, atau perpaduan kata euphonic (yang enak didengar):

(i) sandhi vokal (terjadi ketika kata yang berakhir dengan vokal diikuti oleh kata lain yang dimulai dengan vokal, misalnya na + apāyinī = anapāyinī (stanza 2), na + upayhanti = nupayhanti (stanza 4), tesu + upasammati = tesūpasammati (stanza 4) (catatan: sebagian besar penerjemah Dhammapada menunjukkan: tesaṁ + upasammati; Kitab Penjelasan memberikan keduanya: tesu + upasammati dan tesaṁ + upasammati);

 (ii) sandhi konsonan (ketika kata yang berakhir dengan vokal diikuti oleh kata lain yang dimulai dengan konsonan, misalnya paduṭṭha + nā = paduṭṭhena (stanza 1), pasanna + nā = pasannena (stanza 2);

(iii) sandhi niggahīta (ṁ), (ketika kata yang berakhir dengan niggahīta diikuti oleh kata lain yang dimulai dengan vokal atau konsonan), misalnya dukkhamanveti (stanza 1), dibentuk dari dukkhaṁ + anveti; sukkhamanveti (stanza 2), dari sukkhaṁ + anveti; untuk lebih jelasnya, lihat Catatan 8.2 di bawah ini: niggahīta); Thitzana (2018:54) juga menulis bahwa niggahīta adalah semi-vokal serta semi-konsonan meskipun digolongkan sebagai konsonan (di dalam teks-teks tata bahasa); dan

(iv) sandhi pakati (Pali: pakatisandhi), yaitu ketika status quo pola struktural dua kata atau lebih dipertahankan tanpa melakukan prosedur khusus apa pun, misalnya mano’pubbaṅgamā; pamādo’maccuno padaṁ; tiṇṇo’pāraṅgato ahu (Kaccāyana, 23.26, terjemahan Thitzana);

(4) manopubbaṅgamā dhammā dalam “tena pathama gamina hutva samaññagata” dari Dh.A.1.35 (Davids & Stede 1921-1925/2005, Bagian VI, hal. 90); (3) Kaccāyana (2019:23,36, terjemahan Thitzana) menulis bahwa ketika sebuah konsonan mengikutinya, vokal depan harus dijaga sebagai “pakati” (tanpa menerapkan fungsi morfologis apa pun). Catatan: Menahan fungsi tertentu mana pun, misalnya penghapusan, mengubah menjadi bentuk kata lain seperti yang diatur di beberapa sutta, misalnya 12, 13, 14, 15, 17, disebut sebagai proses “sandhi pakati.” Tidak perlu sama sekali melakukan proses sandhi apa pun yang dapat merusakkan merusak pola struktural kata atau frasa dan, dengan demikian, menjaga makna semestinya kata-kata yang bersangkutan.

Contoh: (a) mano + pubbaṅgamā > manopubbaṅgamā;

(b) pamādo maccuno padaṁ (stanza 21) ‘kelalaian adalah jalan menuju kematian;’

 (c) tiṇṇo pāraṅgato ahu ‘santo yang penuh pencerahan telah pergi ke sisi lain, yaitu, Nibbāna;’ Perhatikan bahwa o terakhir sebelum pubbaṅgamā, maccuno, dan pāraṅgato tetap tidak berubah.

(5) Kaccāyana (2019:24.35, idem.) juga menulis bahwa ketika sebuah vokal mengikutinya, vokal depan kadang-kadang dipertahankan sebagai pakati (sebagai kata yang tidak diubah): ko imaṁ pathaviṁ vicessati… (stanza 44) < ko + imaṁ pathaviṁ vicessati ‘siapa yang akan menyelidiki bumi ini…?’

(6) Kalau tidak, seperti yang ditulis oleh Duroiselle (idem., hal. 12-13):

               6.1 sebuah vokal sebelum konsonan, jika pendek, dapat dipanjangkan:

(ii) evaṁ gāme muni care = evaṁ gāme munī care (stanza 49);

 (ii) du + rakkhaṁ = dūrakkhaṁ (iii) su + rakkhaṁ = sūrakkhaṁ.

Sebuah konsonan yang mengikuti sebuah kata, atau partikel yang berakhir dengan vokal, umumnya digandakan.

Contoh:

idha + pamādo = idhappamādo

su + paṭṭhito = suppaṭṭhito

vi + payutto = vippayutto

a + pativattiyo = appativattiyo

 pa + kamo = pakkamo

yathā + kamaṁ = yathakkamaṁ (34)

anu + gaho = anuggaho

 vi + jotati = vijjotati

kata + ñū = kataññū

du + labho = dullabho

du + sīlo = dussīlo

5.2 Catatan: 1. huruf v setelah vokal menjadi bb:

ni + vānaṁ = nibbānaṁ

ni + vāyati = nibbāyati

du + vinicchayo = dubbinicchayo

5.3 Penggandaan konsonan umumnya terjadi setelah awalan-awalan: u, upa (kekecualian: upasammati), pari (kekecualian: paridahati), ati (kekecualian: atirocati), pa (kekecualian: pamāda), a, anu (kekecualian: anuyuñjati), dll.

5.4 Aturan tetap dalam penggandaan adalah bahwa aspirat (huruf yang dibunyikan dengan hembusan udara dari paru-paru) digandakan oleh non-aspirat, dan non-aspirat oleh non-aspirat. Dengan kata lain, non-aspirat digandakan oleh dirinya.

5.5 Vokal yang mendahului konsonan gabungan yang panjang secara prosodis, yaitu vokal yang secara alami panjang seperti ā, ī, ū, tidak diijinkan ada sebelum konsonan ganda.

5.6. Ketika sebuah konsonan digandakan setelah sebuah partikel yang berakhir dengan vokal panjang, vokal itu dipendekkan:

ā + kamati = akkamati

parā + kamo = parakkamo

Kekecualian:

a. Namun, ada beberapa kekecualian terhadap alinea-alinea 34 & 35. Yang berikut ini adalah contoh-contoh yang paling umum:

(i) na + añña = nāñña; (ii) na + assa = nāssa

(iii) na + assu = nāssu; (iv) kasmā + assa = kasmāssa;

b. Sebelum konsonan, o yang ada di dalam so dan eso dapat diubah menjadi a:

eso dhammo atau esa dhammo

so muni atau sa muni

(d) pubbaṅgamā:

 (1) (arti harfiah) didahului oleh, dipimpin oleh, (arti kias) diarahkan oleh, dikendalikan oleh;

(2) dibentuk dari pubbaṅ:

 (i) sebagai kata keterangan, berasal dari pubba ‘sebelum;’ dapat tetap sebagai pubba atau berubah (untuk menghasilkan sandhi niggahīta*) menjadi pubbaṅ sebelum gama (Davids & Stede 1921-1925/2005, Bagian V, hal. 90) (nom. mask. tunggal) atau gamā (nom. mask. jamak);

(ii) pubba juga merupakan kata sifat yang berarti mantan, atau sebelumnya, atau kuno; pubba tidak pernah digunakan dalam bentuk absolutnya melainkan di dalam kata majemuk dan ditempatkan baik sebelum atau setelah kata yang digabungkan dengannya, misalnya pubbācariya ‘mantan guru atau guru sebelumnya atau guru di masa lampau,’ pubbakamma ‘tindakan sebelumnya,’ pubbanimitta ‘tanda sebelumnya, tanda ramalan, pertanda,’ kecuali kalau di dalam frasa sajak, misalnya pubbaṁ antaṁ untuk pubbantaṁ ‘Timur’ (ibid.) + gamā: kasus nom. adjektiva mask. jamak dari kata (i) gama ‘sedang pergi ke atau menuju,’ yang berasal dari √gam ‘pergi’ + -a dengan akhiran primer atau akhiran turunan kita mengubah kata kerja itu menjadi kata sifat; akhiran yang sama juga membentuk kata benda, yang disebut sebagai kata benda verbal (berasal dari kata kerja), atau kata benda yang dirunkan dari kata kerja, yang berarti pelaku tindakan atau tindakan itu sendiri: gāma ‘orang yang pergi’ atau ‘sedang pergi;’ √kar ‘bertindak, melakukan, membuat’ +-a = kāra ‘aktor, pelaku, pembuat, yang membuat atau melakukan, atau ‘sedang berbuat, sedang melakukan, sedang membuat’ (Duroiselle, 1915/1997:141, No. 576), (ii) dengan pemanjangan huruf a yang ada di kata-kata akar gam dan kar menjadi ā (Duroiselle, idem., No. 567);

(3) sandhi niggahīta dari pubba ‘sebelum, sebelum, dari masa lampau, kuno’ + gama ‘sedang pergi ke, sedang menuju,’ kadang-kadang dengan penyisipan huruf ṅ, sebagai salah satu hasil dari penyesuaian bunyi sengau (nasalisasi) niggahīta (ṁ) yang ada sebelum vokal atau konsonan ṁ menjadi konsonan nasal (sengau) dari kelas konsonan guttural (yang dibunyikan dengan memakai rongga/tenggorokan), atau konsonan-konsonan velar (g, gh, k, kh, dan ṅ) (Duroiselle, idem., hal. 15, No. 45);

(4) Contoh-contoh lain untuk pemakaian gama:

(i) nibbānagama ‘sedang menuju Nibbāna’

 (ii) nabhasigama ‘sedang pergi di atas awan’

(iii) vihaṅgama ‘sedang pergi ke/lewat udara’

(iv) sugatigama ‘sedang menuju kebahagiaan’

 *niggahīta (ṁ): (1) Duroiselle (idem., hal.5) menulis bahwa ṁ atau niggahīta sebenarnya tidak memiliki golongan huruf; huruf itu hanya pernapasan nasal dan ditemukan hanya setelah vokal pendek: aṁ, iṁ, uṁ.

(2) Thitzana (Kaccāyana, 2019:54) menulis:

niggahīta ‘titik di atas’ adalah semi-vokal serta semi-konsonan meskipun digolongkan sebagai konsonan di dalam teks-teks tata bahasa.

(1) ṁ seperti yang ada di aṁ

Catatan: “ṁ” ini dapat dipertukarkan dengan kelima buah suku kata  yang berisi “ṅ, ñ, ṇ, n, m” dari kelima kelompok (vagga) melalui prosedur morfologis yang berlaku. Itu berarti bahwa “ṁ” dapat berubah menjadi bentuk salah satu di antara konsonan “ṅ, ñ, ṇ, n dan m.” Kelima vagga itu disebut sebagai “vagganta” yang berarti “kelompok akhir” [kelompok vagga + akhiran -anta]. Terkadang juga disebut sebagai “lima konsonan nasal.”

(3) Thitzana (idem., hal. 123) juga menulis: Niggahīta diwakili oleh konsonan “ṁ” di bahasa Pali yang ditulis dengan abjad Romawi. Huruf itu disebut “niggahīta” karena harus diucapkan atau dibunyikan melalui saluran hidung dengan memakai bagian-bagian mulut yang diperlukan sebagai mekanisme suara atau suara yang diucapkan, misalnya bibir, yang ditekan dengan lembut dan secara bersamaan bagian-bagian lain, misalnya lidah, gigi, tetap tidak aktif selama proses pengucapan itu.

[niggahīta = ni + √gaha + ta]

Teks Referensi: rassasaraṁ nissāya gayhati, karaṇam niggahetvā gayhatī’ti vā niggahītaṁ. Terjemahannya: huruf ṁ disebut sebagai niggahīta karena diucapkan berdasarkan vokal-vokal pendek, juga karena diucapkan dengan tindakan pengucapan (karaṇa) sumber-sumber suara (ṭhāna) yang ditekan. Di konteks ini, kata pokok “gaha” yang diberi awalan berupa partikel upasagga “ni” berarti menekan dan menahan.

karaṇaṁ niggahetvāna, mukhenā’vivaṭena’yaṁ vuccate niggahīta’nti, vuttaṁ bindhusarā’nugaṁ (Rūpasiddhi). (Terjemahan: titik ini diucapkan dengan tindakan pengucapan  yang ditahan, dengan bibir tetap tidak terbuka. Jadi, “titik” itu disebut “niggahīta” yang  dahulunya bergantung pada (tiga) vokal pendek.

Dalam aksara-aksara Thailand, Myanmar dan Devanāgari, biasanya digambarkan oleh titik kecil di atas huruf yang digabung dengannya. Lihat contoh kata-kata berikut: Thai อํ, Burmese t°, Devanāgari SM .

Niggahīta biasanya didapati disatukan di atas hanya tiga vokal pendek: “a, i, u.” Ia disebut sebagai “anusvāra” dalam bahasa Sanskerta. Beberapa ahli tata bahasa menganggapnya sebagai semi-vokal dan semi-konsonan karena dapat dipertukarkan dalam prosedur morfologis Pāli. Harap catat bahwa hanya “ṁ” yang disebut niggahīta sementara “a” ditambahkan untuk pengucapannya.

2dhammā: (a)(i) fenomena batin, cetasika (vedāna, sañña, dan sańkhāra) (Narada & Pereira, 1940:1); (ii) dhammā: nom. mask. jamak, ablatif mask. tunggal, lokatif tunggal dan jamak dari dhamma ‘fenomena batin, salah satu cetasika’ + akhiran mask. jamak -ā, dengan penghapusan huruf akhir a (Clough, 1824:9-10, No. 17 & 19) dari dhamma; (iii) Geiger & Norman (2005,:71.6, § 78) menulis bahwa kasus nominatif jamak dengan akhiran -ā untuk kata benda netral tidak langka selama dua periode pertama bahasa Pali, yaitu periode gāthā dan prosa Tipitaka: rupā ‘figur’ Th 455; sotā ‘telinga’ Sn 345; nettā ‘mata’ Thī 257; phalā ‘buah’ Ja IV 203. Bentuk-bentuk itu masih dirasakan sebagai kata benda netral, misalnya tin’ assa lakkhanā gatte Sn 1019; moghā (cty: moghāni); te assupariphanditāni Ja III 24.25. Mereka sesuai dengan bentuk-bentuk jamak kitab Veda yang berakhiran -ā, misalnya yugā ‘kuk (batang kayu melintang yang diikatkan ke atas leher dua ekor hewan dan dikaitkan ke kereta atau bajak yang hewan-hewan itu harus tarik).’

(b) Jarang dianggap sebagai kata benda netral (Davids & Stede 1921-1925/2005, Bagian IV, hal. 171), kasus nom. jamak dari dhamma dapat berupa dhammā atau dhammāni* (Tilbe, ibid., hal. 21, No.129) = fenomena batin. Tentang dua bentuk kasus nom. jamak dari rūpa dan kata benda netral lainnya yang berakhir dengan a, Duroiselle (1915/1997:27, No.123 & 124) menulis: rūpa > rūpā & rupāni, citta > cittā & cittāni, dengan huruf akhir a yang ada di pokok kata rupa dan citta diperpanjang menjadi ā sebelum akhiran -ni. Akhiran ni- secara mendasar adalah tanda khas kata benda netral dalam kasus nom. jamak, akusatif dan vokatif dalam semua kelompok tatabahasa [ibid., No.124(a) & (b)]; (c) Kata benda yang berakhir dengan a semuanya maskulin atau netral.

Duroiselle (ibid, hal. 26, No.120) memberikan akhiran-akhiran kata benda maskulin yang bentuk pokoknya berakhir dengan a:

tunggal                                             jamak

Nom.    o                                          ā, āse

Gen.    ssa                                      naṁ

Dat.     ssa, āya                              naṁ

Akus.   ṁ                                         e

Inst.     ina                                       ehi, ebhi

Abl.      ā, smā, mhā, to                   ehi, ebhi

Lok.     i, smiṁ, mhi                         su

Vok.     (like the stem) and ā           ā

121. Akhiran-akhiran itu harus ditambahkan ke kata-kata pokok sambil dengan cermat mematuhi aturan-aturan sandhi yang berlaku ketika akhiran-akhiran mulai dengan vokal ….

122(i) di kasus-kasus datif, inst., ablatif, dan lokatif tunggal serta nominatif dan vokatif jamak, aturan-aturan sandhi yang biasa dipatuhi secara teratur:

  Instrumentunggal deva + ina = devena  ‘dengan atau oleh dewa’
Datifdeva + āya = devāya‘kepada atau untuk dewa’
Lok.deva + i = deve‘pada atau di dewa’
Abl.deva + ā = devā‘dari dewa’
  Nom.jamak: deva + a = devā   
  Vok.deva + āse = devāse devā + a = devā   

Sebelum akhiran -naṁ, gen. dan dat jamak, huruf akhir a di kata pokok yang bersangkutan dipanjangkan: deva+naṁ=devā+naṁ=devānaṁ.

(II)(1) Karena itu, jika kita mengikuti dekelnsi oleh Duroiselle above, dhamma harus dideklensi sebagai berikut:

  Instrumentunggal dhamma + ina = dhammena   
Datifdhamma + āya = dhammāya2.1.1 
Lok.dhamma + i = dhamme 
Abl.dhamma + ā = dhammā 
  Nom.Plural: dhamma + a = dhammā   
  Vok.dhamma + āse = dhammāsee.1 dhammā + a = dhammā(ibid) (ibid)

Komentar-komentar Duroiselle (idem., hal., No.122):

(a) Datif tunggal sejati yang berakhiran āya kini umumnya telah digantikan oleh akhiran gen. ssa; datif āya hampir sama dengan infinitif dan sebagian besar menunjukkan niat. (b) smā dan mhā dari abl. dan smiṁ dan mhi di kasus lok. telah dipinjam dari deklinasi pronomina. (c) akhiran so kadang-kadang juga digunakan sebagai akhiran abl. tunggal: vaggaso, oleh kelompok, bhāgaso, berdasarkan bagian/saham.

(d) akhiran sā juga ditemukan sebagai akhiran instrumen tunggal, seperti: balasā, dengan kekuatan, dengan paksaan/kekuatan, talasā, dengan telapak kaki.

(e) Nom. jamak dengan akhiran -āse sangat jarang, sesuai dengan nom. jamak di kitab Veda.

 (f) ebhi di instrumen dan abl. jamak, sebagian besar digunakan dalam puisi dan mungkin berasal dari akhiran ebhi kitab Veda.

(g) Sebelum o, yang menunjukkan nom. tunggal, akhiran-akhiran ehi dan ebhi di Instrumen dan Abl. jamak dan e, akus. jamak dengan huruf akhir a di kata pokok yang bersangkutan dihapus: dhamm + o = dhammo, dhamma + ehi = dhammehi.

(h) Sebelum su, yang merupakan akhiran lok. jamak, huruf akhir a di kata pokok yang bersangkutan diubah menjadi e. Contoh: dhamma menjadi dhammesu “di, di antara dhamma-dhamma.

e.1-ase: (1) Namun, Geiger (2005:72, bagian 79.4) menulis bahwa di kasus-kasus nom. jamak, bentuk-bentuk dengan akhiran -āse cukup umum dalam bahasa gāthā. Mereka sesuai dengan bentuk-bentuk Vedis dengan akhiran -āsas dan akhiran e sebagai ganti akhiran -o menunjukkan pengaruh bahasa Māgadhī: upāsakāse Sn 376; paṇḍitase Sn 875; dhammāse Sn 1038; brāhmanāse Sn 1079 foll .; vañcitāse Th 102 ….; (2) Dhammapada memiliki 423 buah gāthā, Theragāthā 1.291, dan Therigāthā 522, sementara beberapa gāthā Dhammapada juga ditemukan di dua kitab lain itu, misalnya, Dhp 6 di Theragāthā 275.

Daftar Referensi Buku Tata Bahasa Pali & Inggris serta

Aneka Buku Terjemahan Bahasa Inggris Dhammapada

1.A. Bhikkhu (2021). Māgadhabhāsa (Pāli): A Compendious Grammar on the Language of Pāli Buddhism. Taiping, Perak Malaysia: Sāsanārakkha Buddhist Sanctuary (SBS)

2.Ānandajoti, Bhikkhu: (i)(2016). A Practical Guide to Pali Grammar, Ver. 3. https://www.ancient-buddhist-texts.net/Textual-Studies/Grammar/Guide-to-Pali-Grammar.htm; (ii) (2017/2019). The Dhammapada: The Sayings of the Buddha. Dundee, Scotland: Evertype

3. Anuruddhācariya, Bhadanta (1987). A Manual of Abhidhamma, edited in the Pali and translated by Nārada Mahā Thera into English, 5th edition. Kuala Lumpur, Malaysia: Buddhist Missionary Society

4. Anuruddha, Kakkapaliye Thera (2004). Dictionary of Pali Idioms, An Aid to The Student of Pali. Hong Kong SAR, China: The Chi Lin Nunnery

5. Bechert, Heinz, and Richard Gombrich (1984). The World of Buddhism. London, U.K.: Thames and Hudson Ltd. Reprinted in 1995 by Mladinska Knjiga (Slovenia)

6. Bodhi, Bhikkhu (translator) (2020). Reading the Buddha’s Discourses in Pali: A Practical Guide to the Language of the Ancient Buddhist Canon. Two Volumes. Somerville, MA, U.S.A.: Wisdom Publications

7. Bomhard, Allan R. (2013). The Dhammapada: The Path of Dhamma. Charleston, SC, U.S.A.: Charleston Buddhist Fellowship

8. Buddhaghosa, Bhadantacariya (1999). The Path of Purification. Translated from the Pali by Bhikkhu Ñāṇamoli. Reprinted in 2003, 2006, 2010. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society

9. Buddharakkhita, Acharya (translator) (2014). The Dhammapada. 1st edition. California, U.S.A.: Dharma Publishing

10. Burlingame, Eugene Watson (1921). Buddhist Legends: Translated from the Original Pali Text of the Dhammapada Commentary, Three Volumes. Cambridge, CA, U.S.A.: Harvard University Press.

11. Carter, John Ross, and Mahinda Paliwahadana (translators) (1987). The Dhammapada, The Sayings of the Buddha. New York, U.S.A.: Oxford University Press

12. Clough, Benjamin (1824). Compendious Pali Grammar with a Copious Vocabulary, softcopy. Colombo, Ceylon: Wesleyan Mission Press

13. Davids, T.W. Rhys (1921/1925). Pali-English Dictionary. London, U.K.: The Pali Text Society

14. Dictionary of the English Language (1996). New York, U.S.A.: Random House Value Publishing, Inc.

15. Duroiselle, Charles. 1997. A Practical Grammar of the Pali Language. 3rd edition. Australia: Buddha Dharma Education Association Inc.

16. Easwaran, Eknath (translator) (2007). The Dhammapada. 2nd edition. Petaluma, CA, U.S.A.: Nilgiri Press. This is a revised translation

17. Edmunds, Albert J. (1902) (translator). The Hymns of the Faith, Dhammapada: An Ancient Anthology preserved in the Short Collection of the Sacred Scriptures of the Buddhists. Chicago, U.S.A.: The Open Court Publishing Co.

18. Fronsdal, Gil (translator) (2005). The Dhammapada, A New Translation of the Buddhist Classic with Annotations. Boston, MA, U.S.A.: Shambhala Publications, Inc.

19. Geiger, Wilhelm, and Mabel Haynes Bode (translators) (1912). The Mahāvaṁsa, The Great Chronicle of Ceylon. London, U.K.: The Pali Text Society

20. Geiger, Wilhelm (2005). A Pali Grammar. Translated by Batakrishna Ghosh. Revised and Edited by K.R. Norman. London, U.K.: The Pali Text Society

21. Hands, Penny (editor) (2011). Collins Cobuild English Grammar. Third Edition. Glasgow, U.K.: HarperCollins Publishers.

22. Gethin, Rupert (translator) (2008). Sayings of the Buddha. New York, U.S.A.: Oxford University Press

23. Kaccāyana Vyakaranam (Kaccāyana’s Pali Grammar): (i) Thitzana, A. (translator) (2019). Delhi, India: Motilal Banarsidass Publishers; (ii) Lien, Nhu, (2007) (compiler).Yangon, Myanmar: Department of Pali, International Theravada Buddhist Missionary University

24. Millán, Carmen, and Francesca, Bartrina (2013). The Routledge Handbook of Translation Studies. New York, U.S.A.: Routledge

25. Müller, Edward (1884). A Simpified Grammar of the Pali Language. Edited by Reinhold Rost. London, U.K.: TRÜBNER & CO., LUDGATE HILL

26.1 Müller, F. Max (translator) (1898). The Dhammapada. A Collection of Verses, revised 2nd edition. Oxford, U.K.: Clarendon Press

26.2 Müller, F. Max & Fausböll, F. (1881/2011). The Dhammapada and the Sutta Nipāta, 2nd edition. Surrey, BC, Canada: Eremetical Press

27. Na, Thaw Ba (translator) (2020). M.A. Thesis on the Four Chapters of Dhammapada. Thailand: Mahaculalongkorn University

28. Narada, Thera & Pereira, Cassius A. (translators) (1940). The Dhammapada: The Gift of Truth Excels all Other Gifts. Colombo, Sri Lanka: Mrs W. Leo Fernando

29. Nyānatiloka & Nyānaponika, (1980). Buddhist Dictionary: A Manual of Buddhist Terms & Doctrines. Ceylon, Srilanka: Buddhist Publication Society (BPS)

30. Oberlies, Thomas (2001). Pali, A Grammar of the Language of The Theravada Tipitaka. Edited by Albrecht Wezler and Michael Witzel. Berlin, Germany: Walter de Gruyter GmbH & Co.

31. Perniola, Vito (1997). Pali Grammar. Oxford, U.K.: The Pali Text Society

32. Sarada, Maha Thero (translator) (1993), softcopy version. The Illustrated Dhammapada. Treasury of Truth. Australia: Buddha Dharma Education Association Inc.

33. Sarao, K.T.S. (translator) (2009). The Dhammapada: A Translator’s Guide. New Delhi, India: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd.

34. Shorter Oxford English Dictionary (2002), Fifth Edition. Two Volumes. Oxford, U.K.: Oxford University Press

35. Smith, Helmer & Norman, H.C. (transcription editors) (1906 & 1925/2018). Pali Dhammapadaṭṭhakathā, Vol. I. Bristol, U.K.: The Pali Text Society

36. Tellings, A. Ed. Schmidgall, & Stevens, Alan M. (1981). Contemporary Indonesian English Dictionary. Michigan, U.S.A.: Ohio University Press

37. The Dhamma Library (2018). An Easy Introduction to Pali.

38. Thomson, A.J., and A.V. Martinet (1986). A Practical English Grammar. Fourth Edition. London, U.K.: Oxford University Press

39. Tilbe, H.H. (1899). Pali Grammar. Rangoon, Myanmar: American Baptist Mission Press

40.Tin, Daw Mya: (i) (translator) (1986). The Dhammapada: Verses & Stories. Edited by the Editorial Committee of the Burma Pitaka Association. Rangoon, Burma: Burma Pitaka Association; (ii) (translator) (1993 & 1996). The Dhammapada. Rangoon, Burma: The Department for the Promotion and Propagation of the Sāsana

41. Vipasanna Graha (undated) (translator). English-Indonesian Dhammapada. West Java, Indonesia: Yayasan Bandung Sucinno Indonesia & Yayasan Banten Dhammaviro

42. Wagiswara, W.D.C. & Saunders, K. James (1912) (translators). The Buddha’s Way of Virtue” A Translation of the Dhammapada from the Pali Text. New York, U.S.A.: E.P. Dutton and Co.

43. Warder, A.K. (2001). An Introduction to Pali Grammar. Oxford, U.K.: The Pali Text Society

44. Woodward F.L. (1923/2013) (translator). The Buddha’s Path of Virtue: A Translation of the Dhammapada. Georgetown, NSW, Australia: Tandava Press

Indonesian Grammar References

  1. Badudu, J.S .(1986). Inilah Bahasa Indonesia yang Benar I. Jakarta: PT Gramedia

2. Badudu, J.S (1986). Inilah Bahasa Indonesia yang Benar II. Jakarta: PT Gramedia

3. Badudu, J.S. (1989). Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III. Jakarta: PT Gramedi.

4. Badudu, J.S. (1986). Inilah Bahasa Indonesia yang Benar IV. Jakarta: PT Gramedia

5. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988). Tata Bahasa Buku Indonesia. Jakarta: Perum Balai Pustaka

6. Eddy, Nyoman Tusthi (1987). Analisis Perbandingan Kata dan Istilah Bahasa Malaysia-Indonesia. Flores: Nusa Indah

7. Gonda, J.(1988). Linguistik Bahasa Nusantara: Kumpulan Karya. Jakarta: Balai Pustaka

8. Grijns, C.D.. (1991). Kajian Bahasa Melayu-Betawi. Jakarta: PT Temprint

9. Koewatin, Sasrasoegonda (1986). Kitab Jang Menjatakan Djalannja Bahasa Melajoe. Jakarta: Balai Pustaka

10. Kridalaksana, Harimurti (1988). Beberapa Prinsip Leksem dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Kanisius

11. Loir, Henri Chambert. (2009). Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

12. Kridalaksana, Harimurti (1989). Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

13. Poerwadarminta, W.J.S. (2002). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

14. Purwo, Bambang Kaswanti (1984). Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

15. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2000). Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Bahasa

16. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2000). Petunjuk Praktis Berbahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa

17. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003). Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jilid 1, 2, dan 3. Jakarta: Pusat Bahasa

18. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003). Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing.  Jakarta: Pusat Bahasa

19. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

20. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996). Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia. Jakarta: P3B

21. Setyaningsih, Retno W., dan Rochayah Machali (2017). Topik-Topik dalam Kajian Penerjemahan (Kumpulan Tulisan Yang Sebagian Sudah Pernah Diterbitkan Secara Terpisah). Surabaya: Airlangga University Press

Exit mobile version