Site icon Buddha-Gotama

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 3. YA Koṇḍañña Thera

3. YA Koṇḍañña Thera

Lahir di keluarga brahmana kaya di perkampungan Brāhmaṇa Doṇavatthu di dekat Kapilavatthu, brāhmaṇa cilik itu diberi nama Koṇḍañña, belajar Triveda dan menguasai ilmu mengenali tanda-tanda manusia luar biasa. Pada hari pemberian nama Pangeran Siddhatta yang dihadiri 108 orang brāhmaṇa, terdapat delapan brāhmaṇa yang duduk di barisan depan. Di antara delapan orang brāhmaṇa itu, tujuh mengacungkan dua jari mereka masing-masing dan meramalkan kelak Pangeran Siddhatta jika menjadi orang awam akan menjadi seorang raja dunia dan, jika menjalani hidup petapa, akan menjadi Buddha di tiga alam kehidupan. Seorang brāhmaṇa muda yang bernama Koṇḍañña, setelah mempelajari tanda-tanda bayi itu dengan seksama dan kemudian mengacungkan satu jari, sambil dengan tegas berkata, “Sama sekali tidak mungkin untuk pangeran ini menjalani kehidupan rumah tangga. Ia akan pasti menjadi Buddha.”

Setelah Pangeran Siddhatta meninggalkan Istana untuk menjadi petapa, yang dikenal sebagai Petapa Gotama, Koṇḍañña mengunjungi rumah tujuh orang brāhmaṇa lain, yang semuanya telah meninggal dunia, dan mengajak para putera mereka untuk diajak menjadi petapa. Tidak semuanya memiliki cita-cita yang sama dan, karena itu, hanya empat orang, yaitu Bhaddiya, Wappa, Mahānāma dan Assaji, yang mengenakan jubah petapa di bawah kepemimpinan Koṇḍañña, yang tertua di antara mereka semua.

Mereka bertapa di hutan Uruwelā bersama-sama dengan petapa Gotama. Setelah menganggap petapa Gotama menodai kehidupan petapa karena menerima makanan berupa nasi dengan susu dari Sujātā, mereka meninggalkan petapa Gotama dan pergi ke Taman Rusa di Isipatana, Benares.

Setelah beberapa waktu petapa Gotama  menjadi Sang Buddha dan pergi ke taman tersebut. Di sana beliau membabarkan Ceramah Pemutaran Roda Dhamma, Dhammacakkappavattana Sutta (SN 56:11), kepada lima orang petapa tersebut. Pada tahap-tahap akhir ceramah yang agung itu, YA Koṇḍañña mengerti bahwa jika dukkha disebabkan oleh nafsu,  seharusnya juga ada keadaan yang tanpa dukkha ketika nafsu dilenyapkan. Karena itu, walaupun tidak terhitung jumlah Brahma dan dewa yang mencapai Pembebasan pada malam bulan purnama Āṣāḍha yang mengesankan itu, beliau adalah manusia pertama yang mengerti Dhamma dan anggota Sangha pertama yang menjadi Sotāpanna, orang suci tingkat pertama.  Sang Buddha menyebut beliau sebagai “Aññāsi Koṇḍañña” (Koṇḍañña yang Mengerti”) dan pada hari yang kelima menjadi Arahat. Keempat orang bhikkhu lainnya juga menjadi Arahat pada waktu yang semestinya setelah pleajaran-pelajaran harian yang berpuncak pada ceramah selanjutnya yang dibabarkan kepada mereka, yang berjudul Anattalakkhaṇa Sutta (SN 22:59).

YA Koṇḍañña mencapai Parinibbāna di dekat danau Chaddanta. Para bhikkhu mengumpulkan relik-relik beliau yang seputih kuntum melati dan menyerahkannya kepada Sang Buddha di Vihāra Veluvana.

Sambil memegang relik YA Koṇḍañña, Sang Buddha membabarkan khotbah Dhamma dan merentangkan tangan-Nya. Sebuah cetiya yang berbentuk gelembung perak muncul dari dalam tanah dan relik YA Koṇḍañña diletakkan di dalam cetiya itu. Cetiya itu masih ada hingga kini.

YA Koṇḍañña adalah siswa pertama yang menjadi Arahat. Beliau dianugerahkan gelar Rattaññu yang berarti “yang paling senior dalam status kebhikkhuan.”

3. The Venerable Koṇḍañña Thera

Born to a wealthy Brahmin family in the village of the Brahmin Doṇavatthu near Kapilavatthu, he was forenamed Koṇḍañña, studied the Triveda and mastered the knowledge of identifying the signs of a great man. On the naming day of Prince Siddhatta, eight of the 108 Brahmins present were seated in the front row. Of the eight, seven raised two fingers and predicted that the prince would in future become  the king of the world if he lived as a lay man and a Buddha of three spheres of existence if an ascetic. A young Brahmin, Koṇḍañña by name, carefully examined the baby’s bodily marks and then raised one finger, saying firmly,” It is absolutely impossible for the prince to live a household life. He will certainly become a Buddha.”

After the prince left the palace to become an ascetic, known as the ascetic Gotama, Koṇḍañña visited the homes of the other seven Brahmins, all of whom were deceased by then, and asked their seven sons to become ascetics. Not all the sons had the same aspiration and, therefore,  only four, Bhaddiya, Vappa, Mahānāma and Assaji, wore ascetic robes under Koṇḍañña, who was the eldest of them.

They practiced asceticism in  Uruvelā together with the ascetic Gotama. After the ascetic Gotama received a meal of milk rice  from Sujātā, they left him on the ground that he degraded the ascetic life and they went to the Deer Park at Isipatana, Benares.

Some time later the ascetic Gotama became Supreme Buddha, briefly known as the Buddha, and went to the park. There He expounded the Wheel-turning Discourse, or Dhammacakkappavattana Sutta (SN 56:11), to the five ascetics. At the closing stages of the great sermon, Koṇḍañña understood that if sorrow is caused by desire (dukkha samudaya) there should also be a sorrowless state (dukka nirodha) when desire is eradicated. Therefore, while myriads of Brahma and devas gained Deliverance on that memorable night Āsāḷhā Full Moon, the Venerable Koṇḍañña was both the first human being  to understand the Dhamma and the first member of the Order of Monks, Sangha, to become a Sotapanna, first-degree saint. The Buddha designated him as “Aññāsi Koṇḍañña (Penetrating Koṇḍañña), who would then become an Arahant on the fifth day afterwards. The other four bhikkhus also became Arahants in due course after daily instructions culminating at the next sermon expounded to them called the Anattalakkhaṇa Sutta (SN 22: 59).

The Venerable Koṇḍañña attained final Nibbāna, or Parinibbāna, near the Chaddanta Lake in the Himalayas.  His fellow monks collected his relics which were as white as jasmine flowers and handed them to the Buddha in the Veluvana Monastery.

With His hand holding the relics, the Buddha expounded a Dhamma discourse and stretched his hands. A cetiya, a relic shrine, in the form of silver bubbles arose from under the ground and the relics were put there. This cetiya is still existent to-day.

As the Venerable Koṇḍañña was the first disciple to become an Arahant, he was granted the title of Rattaññu which means the most senior in monkhood.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhyapaka Dasa Marsa, Rohaniwan Buddha

Exit mobile version