Site icon Buddha-Gotama

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 2. YA (Mahā-)Moggallāna Thera

2. YA (Mahā-)Moggallāna Thera

Kelahiran

Lahir di desa Koliya di Rājagaha, dekat dengan desa Nālaka tempat YA Sāriputta lahir. Sejak kecil keduanya merupakan sahabat karib dan petapa terkenal Sañjaya adalah guru mereka. YA Moggallāna bernama asli Kolita. Ayahnya kepala desa dan ibunya seorang brahmana bernama Moggallī.

Menjadi Arahat

Halaman 75 Vinaya Piṭaka mencatat bahwa YA Moggallāna mendengar Dhamma pertama kali dari Upatissa, yang kemudian dikenal sebagai YA Sāriputta. Lalu, mereka berdua sepakat menjalani kehidupan tanpa rumah (meninggalkan kehidupan duniawi). Keduanya menjadi siswa Sang Buddha dan memasuki Saṅgha.

Tujuh hari setelah menjadi Bhikkhu, YA Moggallāna menjadi Arahat.

Kekuatan batinnya

Beliau mengalahkan Nandopananda, raja naga yang juga terkenal karena kekuatan batinnya, dalam sebuah pertarungan di Himalaya. Setelah itu, sang raja naga diajukan kepada Sang Buddha dan menjadi pengikut-Nya.

Pertarungan yang yang hebat sekali itu secara ringkas dikenang pada syair ke-7 Buddhajayamaṅgala Gāthā yang diucapkan di hampir setiap acara Buddhis:”

Nāga Nandopananda yang sangat bijak dan sangat sakti,
sehingga menyebabkan dirinya dijinakkan oleh putra-Nya, yaitu Sang Sesepuh yang seperti nāga, melalui cara kekuatan batin dan nasihat, Raja Para Bijak menang.
Melalui kekuatan itu semoga perlindungan yang jaya datang kepada anda.”

Kitab Vimānavatthu mencatat kunjungan-kunjungan beliau ke berbagai macam surga tempat beliau mewawancarai dewa/-i yang hidup di sana mengenai sebab-sebab kelahiran kembali mereka di sana. Kunjungan-kunjungan itu ditujukan untuk membuktikan bahwa dana dan sila dapat menimbulkan kelahiran kembali di surga.

Sutta ke-37 Majjhima Nikāya mencatat bahwa pada suatu kunjungan ke Surga Tāvatiṁsa, beliau menggoyangkan, mengguncangkan dan menggetarkan Istana Vejayanta, tempat tinggal Sakka, Raja dewa, dengan jari kaki beliau, untuk mengingatkan Dewa Sakka tentang keterlenaannya dalam kesenangan indrawi.

Parinibbāna

Sarabhaṅga Jātaka (Jātaka 522) mencatat sebagai berikut: … Orang-orang menerima ajaran beliau dan menolak ajaran kaum pemecah belah. Penghormatan besar diberikan kepada para murid Sang Buddha sedangkan penghormatan kepada kaum pemecah belah rontok. Mereka menyimpan dendam terhadap YA Moggallāna…. Mereka menyewa seorang perampok dengan banyak sekali pengikut untuk membunuh beliau di Batu Hitam.

YA Moggallāna melayang ke angkasa dan menghilang  dengan kekuatan batin beliau untuk menghindari pembunuhan. Gagal membunuh, perampok pergi dan, kemudian, kembali selama enam hari berturut-turut.

Namun, pada hari ketujuh, perbuatan jahat beliau pada kehidupan lampau berbuah. Beliau tidak dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk menghindar dari perampok itu. Sang perampok menghancurkan semua tulang beliau, dengan menyiksa tubuh beliau seperti ‘bubur.’ Setelah berpikir beliau meninggal, sang perampok pergi dengan para pengikutnya.

Saat sadar kembali, YA Moggallāna menyelimuti diri beliau dengan Meditasi seolah-olah dengan pakaian. Lalu, beliau terbang lewat angkasa untuk menjumpai Sang Buddha, bersujud dan berkata, ”Sang Bhagava, daya hidup saya habis: saya akan meninggal.” Setelah mendapatkan ijin dari Sang Guru, beliau langsung meninggal pada saat itu juga.

Pada saat itu juga para penghuni keenam alam dewa gempar. Mereka berseru, ”Guru kita meninggal.” Para dewa datang dengan membawa dupa, parfum dan karangan bunga yang wangi  surgawi serta segala  macam kayu. Onggokan kayu apinya terbuat dari cendana dan 99 buah benda mulia.

Sang Buddha, sambil berdiri di dekat Sang sesepuh,  memerintahkan agar relik beliau disimpan. … Sebuah festival suci berlangsung selama tujuh hari. Sang Buddha memerintahkan relik-relik itu dikumpulkan dan sebuah tempat suci dibangun di dalam sebuah kamar yang dindingnya segitiga di Veluvana, Rājagaha.

Kini relik-relik itu dapat kita lihat di sebuah stupa di Sanchi, India.

2. The Venerable (Mahā-)Moggāllana Thera

Birth

Born in the village of Koliya, Rājagaha, in close proximity to the village of Nālaka where the Venerable Sāriputta was born. They were close friends since childhood times and the well-known ascetic Sañjaya was their teacher. The Venerable Moggāllana was known as Kolita at birth. His father was the village head and his mother a Brahmin woman named Moggallῑ.

Arahatship

Page 75 of Vinaya Texts records that the Venerable Moggallāna first heard the Dhamma from Upatissa, the future Venerable Sāriputta. Then, they both agreed to go forth into homelessness and became the Buddha’s disciples and entered Saṅgha.

Seven days later the Venerable Moggallāna reached arahantship.

His supernormal feats

He defeated Nandopadanda, the naga king who was also noted for psychic feats, in a battle on the Himalayas. Thereupon, the naga king was conducted to the Buddha, whose follower he became.

This epic feat was briefly commemorated in the 7th verse of the Buddhajayamaṅgala Gāthā (Verses of Auspicous Victory) which is recited at almost every Buddhist function:”

The nāga Nandopananda very wise and of great psychic power,

Causing to be tamed by His son the elder who is like a nāga,

Through the method of psychic power and advice,

the Lord of Sages won.
Through that power may there be victorious auspices to you.”

The Vimānavatthu records his visits to various heavens where he interviewed the devas living there as to the causes of their rebirth there. The visits were intended to prove that giving (dana) and morality (sila) may lead to heavenly rebirth.

The Majjhima Nikāya records that on one visit to the Tāvatiṁsa heaven, he shook the Vejayanta Palace, the abode of Sakka, King of Devas, by touching the ground there with his toe, in order to remind the king of his indulgence in sensual enjoyment.

Final Nibbāna

The Sarabhaṅga Jātaka (Jātaka 522) records as follows: … People gladly accepted his teaching and rejected that of the schismatics. Great honour was paid to the disciples of the Buddha while that to the schismasmatics fell away. They conceived a grudge aginst the Elder … They hired a brigand with a great following to kill him at the Black Rock.

He flew into the air to avoid murder by flying into the air and disappeared employing his supernatural powers. Then, the brigand went away and returned day after day for six successive days.

However, on the seventh day the Venerable Moggallāna’s past bad deed produced a result whereby he failed to employ his supernatural powers to escape the brigand. The brigand crushed all his bones, subjeting him to a ‘straw and meal’ torture and, thinking he was dead, went off with his followers.

The Elder, on recovering consciousness, clothed himself with Meditation as with a garment, and flying up into the presence of the Master, saluted him and said, ”Holy Sir, my sum of life is exhausted: I would die,” and having gained the Master’s consent, he died then and there.

At that instant the six god realms were in a general state of commotion.”Our Master,” they cried,” is dead.” And they came, bringing incense and perfume and wreaths breathing divine odours and all kinds of wood. The pyre was made of sandalwood and ninety-nine precious things.

The Master, standing near the Elder, ordered his remains to be deposited … A sacred festival was held for seven days. The master had the relics of the Elder gathered together and erected a shrine in a  gabled chamber in the Bamboo Grove, Rājagaha.

Now we can find the relics in a stūpa in Sanchi, India.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhyapaka Dasa Marsa, Rohaniwan Buddha

Exit mobile version